-->

Iklan

Tuhan Menilai yang Tersimpan, Bukan yang Diberikan: Pelajaran Mendalam dari Buya Hamka

terasmudacianjur
Minggu, 12 Januari 2025, 10.45 WIB Last Updated 2025-01-12T03:47:04Z

 


Dalam salah satu kutipan yang penuh makna, Buya Hamka mengatakan, “Tuhan menilai apa yang kita beri dengan melihat apa yang kita simpan.” Kalimat ini menyentuh inti dari ajaran Islam tentang keikhlasan, di mana Allah lebih memperhatikan niat hati daripada sekadar besar kecilnya suatu amal. Pemberian yang tulus menjadi penentu nilai sebuah amal di sisi Allah. Artikel ini akan membahas pesan tersebut secara mendalam, dilengkapi dengan dalil dari Al-Qur'an, hadis sahih, serta pandangan ulama.


Makna Pemberian dalam Islam


Islam sangat menekankan pentingnya memberi dan berbagi dengan sesama. Namun, esensi utama dari pemberian bukanlah pada besar kecilnya, melainkan pada niat yang melandasinya. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:


“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)

 

Ayat ini mengajarkan bahwa kebajikan sejati dicapai ketika kita rela memberikan sesuatu yang kita cintai, namun yang lebih penting adalah kesadaran bahwa Allah mengetahui niat dan keikhlasan di balik pemberian tersebut. Keikhlasan ini menjadi penentu diterima atau tidaknya amal.


Keikhlasan dalam Memberi


Keikhlasan adalah inti dari semua amal ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini menegaskan bahwa niat adalah landasan utama yang menentukan kualitas amal seseorang. Tanpa niat yang ikhlas, sebesar apa pun pemberian seseorang, ia akan kehilangan nilai di sisi Allah. Sebaliknya, pemberian kecil yang dilakukan dengan tulus dapat menjadi amal besar yang penuh berkah.


Pesan dari Buya Hamka


Kutipan Buya Hamka ini mengingatkan kita untuk selalu introspeksi dalam setiap amal. Pemberian bukanlah soal pamer atau ajang untuk mendapatkan pujian dari manusia, melainkan soal hubungan langsung antara pemberi dan Allah. Jika hati diliputi oleh riya (keinginan untuk dipuji), maka amal tersebut menjadi sia-sia. Dalam bukunya, Tasawuf Modern, Buya Hamka juga menjelaskan bahwa keikhlasan adalah fondasi dari ketenangan jiwa. Orang yang ikhlas tidak mengharapkan balasan dari manusia, melainkan hanya dari Allah.


Pandangan Para Ulama tentang Keikhlasan


Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa keikhlasan adalah memurnikan amal dari segala hal yang berbau duniawi. Beliau menulis:


“Keikhlasan adalah ketika seorang hamba tidak mengharapkan selain ridha Allah dari amalnya.”

 

Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Madarij As-Salikin, di mana beliau menyebutkan bahwa amal yang disertai riya adalah amal yang tidak akan pernah sampai kepada Allah, melainkan hanya kepada manusia yang dipameri.


Bahaya Riya dalam Amal


Allah berfirman dalam Al-Qur'an:


“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6)

 

Ayat ini memberikan peringatan tegas bahwa amal yang dilakukan karena riya tidak hanya sia-sia, tetapi juga mendatangkan murka Allah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)

 

Contoh dari Kehidupan Para Sahabat


Keteladanan tentang pemberian yang tulus dapat kita lihat dari para sahabat Nabi. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah menyerahkan seluruh hartanya untuk jihad di jalan Allah. Ketika ditanya apa yang ia tinggalkan untuk keluarganya, ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud). Keikhlasan ini menunjukkan totalitas dalam beramal tanpa sedikit pun niat untuk pamer.


Pelajaran yang Dapat Kita Ambil


Wargi, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari pesan ini:


  1. Niat adalah Segalanya: Sebelum memberi, luruskan niat kita hanya untuk Allah.
  2. Hindari Riya: Jangan biarkan amal kita tercemar oleh keinginan untuk mendapat pujian.
  3. Beri yang Terbaik: Berikan sesuatu yang bermanfaat dan bernilai, baik secara materi maupun non-materi.
  4. Rendah Hati: Jangan pernah merasa bahwa pemberian kita lebih besar daripada orang lain. Allah yang paling tahu nilai sejati dari amal kita.

Penutup


Kutipan Buya Hamka ini mengajarkan kita untuk lebih introspektif dalam setiap amal. Tuhan tidak hanya melihat apa yang kita berikan, tetapi juga menilai apa yang tersimpan di hati kita – ketulusan dan keikhlasan. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang selalu ikhlas dalam beramal dan mendapatkan ridha Allah.

Komentar

Tampilkan

  • Tuhan Menilai yang Tersimpan, Bukan yang Diberikan: Pelajaran Mendalam dari Buya Hamka
  • 0

Terkini