K.H.R. Abdullah bin Nuh, semasa kecil sudah dibawa oleh neneknya Nyai Raden Kalipah Respati untuk bermukim di Mekah. Neneknya adalah seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin diwafatkan di Makkah Mukarromah. Setelah dua tahun lamanya, beliau kembali dari Makkah kemudian belajar di Madrasah Al-I’anah Al-Mubarakah, madrasah yang didirikan oleh ayahandanya; K.H.R. Nuh bin Idris pada tahun1912. Semasa belajar, antara usia 8-13 tahun ia sudah menunjukan bakatnya dalam bahasa dan sastra arab. Beliau sangat pandai dalam berbicara bahasa Arab bahkan sudah sangat menguasai dan menghafal kitab Alfiyah ibnu Malik (tata bahasa arab) tingkat tinggi yang berjumlah seribu bait, baik dilafalkan dari bait pertama sampai bait seribu ataupun dari bait keribu ke bait pertama.
Selain menguasai bahasa dan sastra Arab, K.H.R. Abdullah bin Nuh sangat pandai dalam berbahasa Inggris, diusia ini pula beliau mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Selain belajar di Al I’anah, beliau pun tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. Suatu hari beliau berkata kepada muridnya: “Mama Mah Tiasa Maca Ihya Teh Khusus Ti Bapak Mama” (Bapak, bisa membaca kitab Ihya itu belajar dari bapak saya).
Pada tahun 1918, pada saat K.H.R. Abdullah bin Nuh berusia 13 tahun, Madrasah Al I’anah melahirkan murid-murid pilihan/dakhiliyyah (galar yang diberikan untuk murid terbaik; dari segi keilmuan, leadership, mental, ahlaq, dll ) yang terdiri dari:
R. Abdullah (KH Abdullah bin Nuh)
R. M Zen,
R. Taefur Yusuf,
R. Asy’ari,
R. Akung dan
R. M Soleh Qurowi.
Mereka dikirim ke Pekalongan untuk menimba ilmu dan bermukim di internat (Pondok pesantren) Syamailul Huda di Jl. Dahrian (sekarang Jl. Semarang) yang dipimpinan oleh seorang Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi, keturunan Yaman wilayah Hadrol Maut. Di pesantren ini, R. Abdullah bin Nuh menimba ilmu bersama 30 orang sahabat seniornya yang sudah terlebih dahulu bermukim dan belajar disana. Mereka datang dari berbagai daerah, diantaranya: Ambon, Menado, Surabaya, Malaysia bahkan dari Singapore.
Pada usianya yang ke-18, yaitu pada tahun 1922, Sayyid Muhammad bin Hasyim Hijrah ke Surabaya. K.H.R. Abdullah bin Nuh ikut diboyong, karena Beliau merupakan salah seorang murid terbaik kesayangannya. Disana, Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School”, dan K.H.R. Abdullah bin Nuh melanjutkan belajarnya. Selain belajar, beliau digembleng cara mengajar, berpidato, memimpin (leadership) dan lain-lain, diperbantukan untuk mengajar sekaligus menjadi redaktur Hadrolmaut, majalah mingguan edisi bahasa Arab di Surabaya (1922-1926).
Pada tahun 1926, pada saat usianya yang ke-22, kecerdasan dan kemampuannya dalam berbahasa Arab telah menghantarkan beliau untuk belajar di Universitas Al-Azhar Cairo pada bidang Fikih Fakultas Syari’ah dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab).
Sekembalinya dari Mesir antara tahun 1927-1928, KH Abdullah bin Nuh memulai karirnya sebagai Kyai dengan mengajarkan agama Islam. Diawali dari Cianjur dan Bogor, Pernah tinggal di Ciwaringin kaum dan di Gang Kepatihan.
Selama di Bogor beliau mengajar di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh mama Ajengan R. Haji Mansyur dan juga mengajar para Mu’alim yang berada disekitar Bogor. Satu tahun tinggal di Bogor, pindah ke Semarang, disana hanya dua bulan kemudian kembali lagi ke Bogor, untuk melanjutkan perjalanannya ke Cianjur. Disana beliau menjadi guru bantu di Madrasah Al I’anah.
Tahun 1930, untuk yang kedua kalinya K.H.R Abdullah bin Nuh kembali ke Bogor dan tinggal di Panaragan, pekerjaan beliau adalah mengajar para Kyai dan menjadi korektor Percetakan IHTIAR (inventaris S.I).
Selama 4 tahun bermukim di Bogor. KH. Abdullah bin Nuh bersama Mama Ajengan R.H Mansur, mendirikan Madrasah PSA (Penolong Sekolah Agama) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada disekitar Bogor, ketuanya adalah Mama Ajengan R.H Mansur, sedangkan KH Abdullah bin Nuh terpilih sebagai Ketua Dewan Guru/Direktur.
Pengabdian dan Perjuangan semasa hayatnya
Selain sebagai seorang Kiai, R.H. Abdullah bin Nuh mengabdikan diri sebagai pengajar di Cianjur & Bogor, antara tahun 1928-1943) K.H.R Abdullah bin Nuh adalah seorang pejuang kemerdekaan republik Indonesia.
Beliau menjadi anggota Pembela Tanah Air atau Peta di usia 41 tahun (1943-1945) untuk wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
Pada tahun 1945-1946, beliau memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada tahun 1948-1950: Seliau menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNIP) di Yogyakarta, Sebagai kepala seksi siaran berbahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan Dosen luar biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).
Pada tahun 1950-1964 Abdullah bin Nuh memegang jabatan sebagai kepala siaran bahasa Arab pada RRI Jakarta.
Menjabat sebagai Lektor Kepala (saat ini; Dekan) Fakultas sastra Universitas Indonesia (1964-1967).
Tahun 1969 beliau mendirikan Majelis al-Ghazali dan Pesantren al-Ihya di Bogor. Di kedua tempat pendidikan ini ia berfungsi sebagai sesepuh. Di Bogor, Abdullah bin Nuh aktif melaksanakan kegiatan dakwah Islamiah dan mendidik kader-kader ulama. Beliau juga menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain:
1. Arab Saudi,
2. Yordania,
3. Inbeliau, Irak,
4. Iran,
5. Australia,
6. Thailan,
7. Singapura, dan
8. Malaysia.
Ia juga ikut serta dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan dinamis.
Keistimewaan Abdullah bin Nuh sebagai ulama adalah kemampuannya menciptakan syair Arab dalam berbagai bentuk dan tujuan, seperti syair pujian dan ratapan. Syair-syairnya telah dihimpun dalam Diwan Ibn Nuh, berupa qasidah (118 qasidah) yang terdiri dari 2.731 bait. Semuanya digubah dalam bahasa Arab fusha (fasih) yang bernilai tinggi.
Salahsatu sya'ir yang sampai saat ini menjadi legendaris cianjur yaitu " Persaudaraan Islam".Sair ini ditulis pada saat beliau berumur 20 tahun yaitu tahun tahun 1925. Penggalan syair bait pertama yaitu:
"Anda adalah saudaraku. Betapa keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tdk kenal aku dan tdk tahu siapa bundaku. Walaupun aku tdk pernah tinggal serumah dgn anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda dibawah satu atap langit".
Karya K.H.R. Abdullah bin Nuh
Semasa hayatnya, beliau serung menulis buku. Karyanya yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry.
Dalam bahasa Arab, Karya beliau antara lain:
al-Alam al-Islami (Dunia Islam),
Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah),
La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam),
Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafii),
Mu’allimu al-’Arabi (Guru Bahasa Arab),
dan al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran).
Adapun Karya yang ditulis dalam Bahasa Arab antara lain:
Cinta dan Bahagia,
Zakat Modern,
Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW,
dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten
Karya tulis dalam bahasa Sunda:
Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam).
Karya terjemahan antara lain:
adalah Minhaj al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah) karya Imam al-Ghazali,
Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan) karya Imam al-Ghazali,, dan al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul (Penjernihan bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul) karya Imam al-Ghazali.
(himatcianjur)