-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Pengetahuan Geografi Masyarakat Sunda Berdasarkan Manuskrip Sunda Kuno dan Catatan Perjalanan Orang Portugis [Bagian 1]

Kamis, 01 Februari 2018 | 15.48 WIB | 0 Views Last Updated 2024-06-21T19:26:20Z

Oleh: Edi S.Ekadjati [ Penulis adalah sejarawan yang dikenal sebagai pakar naskah Sunda Kuno, Guru Besar dan juga pernah menjadi dosen serta Ketua Pusat Studi Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, BandungSumber Tulisan : Sari, Vol. 25, Universiti Kebangsaan Malaysia]



Khazanah manuskrip Sunda adalah yang ditulis pada daun palma dan berisikan kebudayaan Sunda pra-Islam. Manuskrip ini menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno atau Jawa Kuno. Ada empat buah manuskrip Sunda Kuno yang disusun paling muda pada akhir abad ke-16. Kesemuanya mengandungi banyak data geografi bukan sahaja di Tatar Sunda, bahkan wilayah Asia. Apakah datadata geografi itu bernilai sejarah atau hanya ciptaan pengarangnya? Setelah membandingkannya dengan tiga cacatan orang Portugis yang sezaman, ternyata data-data itu memempunyai kebenaran sejarah.

Data Geografi dalam Manuskrip Sunda Kuno

Khazanah manuskrip Sunda telah dibahagikan berdasarkan periodisasi pembuatan, ciri-ciri fizikal dan isi kepada tiga kelompok, yaitu (1) yang berasal dari masa kuno, maka disebut sebagai Manuskrip Sunda Kuno, (2) yang berasal dari masa peralihan, maka disebut sebagai Manuskrip Sunda Peralihan dan (3) yang berasal dari masa baru, maka disebut sebagai Manuskrip Sunda Baru (Ekadjati 1988:10; 1996:105-128).

Manuskrip Sunda Kuno adalah dari masa kehidupan sosial budaya Sunda mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu- Budha dari India. Masa itu, dari abad ke-5 hingga abad ke-16M meliputi Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Namun, manuskrip Sunda Kuno mungkin sekali bermula sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-18M (Pleyte 1913; Atja 1970; Ekadjati 2003), kerana sebelum abad ke-14 mungkin belum ada tradisi penulisan manuskrip (masa itu baru ada tradisi tulis-baca berbentuk prasasti) dan sampai awal abad ke-18 masih kekal tradisi tulis-baca pada daun (lontar, nipah) dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno serta berisikan cerita, catatan dan uraian tentang kebudayaan Sunda Pra-Islam.

Sementara itu, manuskrip Sunda Peralihan yang berasal dari masa mulai datangnya pengaruh agama dan kebudayaan Islam pada abad ke-17 dan ditulis pada kertas daluang dengan menggunakan aksara Carakan (Jawa), Arab, Pegon serta bahasa Jawa, Arab dan Sunda hingga mulai ditinggalkannya penggunaan kertas, aksara dan bahasa tersebut menjelang pertengahan abad ke-19, kecuali aksara Pegon dan bahasa Sunda dalam jumlah sedikit.

Seterusnya, manuskrip Sunda Baru berasal dari masa dimulainya kembali penggunaan bahasa Sunda secara umum dan mulai digunakan jenis aksara Cacarakan, Pegon dan Latin pada pertengahan abad ke-19 sehingga kini.

Dalam makalah ini, hanya manuskrip Sunda Kuno akan dibahaskan. Jika perlu, akan dikemukakan manuskrip Sunda yang lain itu. Ada empat buah manuskrip Sunda Kuno yang mengandungi data geografi wilayah Sunda dan di luar, yaitu Bujangga Manik (BM), Sanghiyang Siksakandang Karesian (SSK), Amanat dari Galunggung (AdG), dan Carita Parahiyangan (CP).

BM disusun Perebu Jayapakuan, seorang daripada keluarga keraton Pakuan Pajajaran (tohaan). Menyebut dirinya Bujangga Manik dan Ameng Layaran, beliau suka bertapa, mengembara dan mencari ilmu. Karya itu digubalnya antara sesudah perempat ketiga abad ke-15 (sesudah berdirinya Kesultanan Melaka) dan sebelum tahun 1511 (sebelum Melaka jatuh ke tangan Portugis).

Tertulis pada daun palma (lontar) dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, manuskrip itu kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, England. Ia berisikan catatan perjalanan pengarang mengelilingi Pulau Jawa sebanyak dua kali dan dalam perjalanan yang kedua, beliau sampai ke Pulau Bali.

Dalam perjalanannya yang pertama, Perebu Jayapakuan bertolak dari Pakuan Pajajaran (sekitar kota Bogor sekarang), yang menjadi ibu kota Kerajaan Sunda (akhir abad ke-7 hingga akhir abad ke-16 Masihi). Setelah keluar dari kompleks keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, beliau berjalan kaki sendirian menuju ke timur melalui beberapa tempat yang kini masih dapat dikenali, iatu jalan raya Bogor-Cianjur dan Pakancilan, Tajur Mandiri, Suka Beurus (sekarang Sukabirus), Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai Ciliwung), Puncak, Bukit Ageung (sekarang Gunung Gede), Eronan, Cinangsi, menyeberangi Sungai Citarum; setelah menyeberangi Sungai Citarum beliau berjalan ke utara sehingga menyeberangi Sungai Cipunagara, Tompo Emas (sekarang nama Gunung Tampomas di daerah Sumedang), menyeberangi Sungai Cimanuk, lereng utara Gunung Ciremai, Luhur Agung (sekarang Luragung di daerah Kabupaten Kuningan), menyeberangi Sungai Cisinggarung (Cisanggarung) dan Sungai Cipamali, dan sampai ke Pamalang (termasuk wilayah Jawa Tengah sekarang).

Menjelang menyeberangi Sungai Cipamali (sekarang Kali Pemali) dikatakan sebagai ujung wilayah Sunda yang berbatasan dengan wilayah Jawa. Setibanya di Pemalang, Perebu Jayapakuan merindui sangat ibunya yang telah lama ditinggalkan. Oleh sebab itu, beliau memutuskan untuk pulang ke rumahnya dengan menumpang kapal orang Melaka. Setelah belayar setengah bulan, tibalah kapal itu di kota pelabuhan Kalapa (Jakarta sekarang).

Dengan berjalan kaki, beliau yang kini menyebut dirinya sebagai Ameng Layaran pulang ke keraton di Pakuan, melewati antara lain Pabeyaan (pelabuhan), Ancol Tamiang (sekarang Ancol), Samprok (Semprug sekarang?), Sungai Ciluwer (Sungai Ciluar), menyeberangi Sungai Cihaliwung, Pakeun Tayeum (Tayem sekarang) dan Pakancilan (sekitar ibu kota Pakuan).

Perjalanan kali kedua mengikut jalur utara di sepanjang daerah pesisir utara Pulau Jawa agak ke dalam sampai ke ujung timur Pulau Jawa, melalui wilayah Kesultanan Demak (pusatnya di timur laut kota Semarang, Jawa Tengah) dan wilayah Kerajaan Majapahit (pusatnya di Trowulan sebelah barat laut kota Surabaya, Jawa Timur), kemudian menyeberang ke Bali dan dalam perjalanan pulangnya mengikut sepanjang daerah pesisir selatan Pulau Jawa bahagian agak ke dalam.

Dalam seluruh karyanya, Perebu Jayapakuan menyebut nama tempat yang dikunjungi, dilihat dan didengarnya. Kesemuanya berjumlah 450 tempat, meliputi nama sungai, gunung dan pertapaan (Noorduyn 1982).

Banyak tempat dalam perjalanan itu masih dikenali namanya sekarang: Umbul Songgol (Jonggol sekarang di timur laut kota Bogor), Sungai Cileungsi, Gunung Gajah, Citeureup, Sungai Citarum, Sungai Cilamaya, Sungai Cipunagara, Tompo Emas, Sungai Cimanuk, Timbang (kini desa di daerah Kuningan), Kuningan, Darma (desa di daerah Kuningan), Luhur Agung (kini Luragung di daerah Kuningan), Sungai Cisinggarung, Sungai Cipamali, Gunung Agung (Gunung Slamet sekarang), Barebes (Brebes), Sungai Cicomal, Batang, Pakalongan, Gunung Diheng (Gunung Dieng), Gunung Sundara.

Wilayah Demak, Daha (mulai masuk wilayah Jawa Timur), Bubat, Majapahit, Gresik, Gunung Arjuna, Gunung Mahameru (Gunung Semeru), Gunung Berahma (Gunung Bromo), Panarukan, Balungbungan (Blangbangan), menyeberang ke Pulau Bali, menyeberang lagi ke Balungbungan, Gunung Rahung (Gunung Raung), menuju selatan ke arah Nusa Barong (Nusa Barung, sebuah pulau di luar pantai selatan ujung timur Jawa Timur), ke arah barat ke Lamajang Kidul (Lumajang Selatan), Gunung Kawi, Gunung Kampud (Gunung Kelud?), Balitar (Blitar).

Gunung Wilis, Gunung Lawu (mulai masuk ke wilayah Jawa Tengah), Gunung Marapi, Sungai Cilohparaga (Kali Progo), Adipala, Muhara Cisarayu (muara Kali Serayu), Mandala Ayah, menyeberang Sagara Anakan (mulai masuk ke wilayah Sunda atau Jawa Barat), Muhara Citanduyan (Muara Citanduy), Pananjung, Ujung Galuh (Bojong Galuh), Sungai Ciwulan, Gunung Galunggung, Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Danuh (Denuh di Tasikmalaya Selatan).

Gunung Patuha, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, Cihea (di Cianjur); disebut pula beberapa tempat di bahagian hujung barat Tatar Sunda (sekarang Banten), seperti Sajra (Sajira), Gunung Kosala, Labuhan Ratu (Labuhan di pesisir timur Selat Sunda), Wanten (Banten), Pulo Sanghiang, Pulau Rakata di kawasan Selat Sunda yang berbatasan dengan wilayah Lampung di Sumatera.

SSK yang tertulis pada daun nipah dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno dan kini disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, itu dikarang pada tahun 1440 Saka (1518 M) oleh orang yang pengetahuannya tinggi mengenai pelbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda masa itu. Oleh sebab beragam isinya dengan masing-masing dikemukakan secara singkat, karya ini boleh dipandang sebagai ensiklopedia kebudayaan Sunda.

Hal yang dikemukakannya adalah 54 buah nama negara/daerah yang memiliki bahasa asing yang dikuasai jurubasa darmamurcaya (penerjemah). Selain itu, diungkapkan pula tradisi orang Sunda mengembara ke negara lain, termasuk Jawa dan China. Beliau dianggap sudah berjaya dari segi menguasai bahasa dan kebudayaan, tetapi gagal kerana tidak tahu bahasa dan kebudayaan negara yang dikunjunginya (Atja & Saleh Danasasmita 1981a).

AdG, yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta, dan tertulis pada daun lontar dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno itu berisikan pesan, amanat dan nasihat Prabu Sanghiyang Wisnu Darmasiksa (raja Sunda yang memerintah tahun 1187-1297) kepada puteranya (Prabu Ragasuci 1297-1303) dan keturunannya tentang masalah tata cara hidup dan kepemimpinan yang baik.

Dinyatalan bahawa pemimpin (raja) hendaklah menjaga dan memelihara sumber kemuliaan dan kesaktian, yaitu kompleks kabuyutan (mandala) yang suci, terutamanya kabuyutan di Galunggung (sekitar Gunung Galunggung di daerah Kabupaten Tasikmalaya). Menurutnya, kabuyutan jangan direbut negara/orang asing (Jawa, Baluk, China, Lampung, bahkan Sunda.

Amanat ini, agaknya, dibuat oleh dan untuk kalangan elit Kerajaan Galuh, tatkala pusat kekuasaan berkedudukan di Galuh (sekitar daerah Ciamis sekarang), sedangkan Kerajaan Sunda berdiri sendiri dengan pusat kekuasaannya berada di Pakuan Pajajaran (kota Bogor sekarang) sehingga Kerajaan Sunda dipandang sebagai negeri lain. (Atja & Saleh Danasasmita 1981b).

CP yang disusun di Galuh pada waktu Kerajaan Sunda baharu sahaja runtuh (1579) dan ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno itu berisikan kehidupanKerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda dari awal hingga akhir. Secara ringkas dinyatakan raja yang memegang pemerintahan secara kronologi, tempoh pemerintahan, peristiwa besar dan keadaan sepanjang masa pemerintahan setiap raja.

Sehubungan itu, diungkapkan nama beberapa tempat dan negara yang ada hubungan dengan perjalanan hidup dua buah kerajaan tadi. Ternyata manuskrip ini disusun ketika agama dan kuasa Islam mulai berkembang di Pulau Jawa, melalui Kesultanan Demak di Tanah Jawa dan Kesultanan Cirebon di Tatar Sunda (Atja 1968; Atja & Saleh Danasasmita 1981c).

Data-data geografi dalam manuskrip BM disaksikan pengarangnya yang sekaligus pelaku. Data-data itu meliputi (1) wilayah Tatar Sunda, antara lain: Ancol Tamiang, Bukit Ageung, Ceremay (Gunung), Cihaliwung (Sungai), Cihea (Sungai), Cikuray (Gunung), Cilamaya (Sungai), Cileungsi (Sungai), Cimanuk (Sungai), Cipunagara (Sungai), Cisinggarung (Sungai), Citanduy (Muara), Citarum (Sungai), Citeureup, Darma, Galuh, Galunggung, Gunung Gajah, Gunung Galunggung, Gunung Papandayan, Hujung Galuh, Kalapa, Kuningan, Luhur Agung, Pakancilan, Pakuan, Pakwan Pajajaran, Pananjung, Parahiyangan, Puncak, Sukabeurus, Sumedang, Tajur Mandiri, Tompo Emas, Wahantengirang.

(2) luar wilayah Tatar Sunda, antara lain: Bagawanta (Sungai), Bali, Balitar, Balungbungan, Barebes, Barong (Nusa), Bubat, Cicomal (Sungai), Cilohparaga (Sungai), Cipamali (Sungai), Cisarayu (Sungai), Daha, Demak, Geresik, Gunung Agung, Gunung Brahma, Gunung Diheng, Gunung Kampud, Gunung Kawi, Gunung Mahameru, Gunung Marapi, Gunung Rahung, Gunung Rajuna, Gunung Sundara, Jawa, Jenggi, Kali Praga, Karang Bolong, Lamajang Kidul, Majapahit, Malaka, Ma[ta]ram, Pakalongan, Pamalang, dan Pandanarang (Semarang).

Nama negara dan tempat yang disebut dalam SSK adalah Andeles, Babu, Badan, Bali, Baluk, Banggala, Bangka, Beten, Buretet, Buwun, Cempa, Cina, Dinah, Gedah, Gumantung, Indragiri, Jambudipa, Jawa, Jenggi, Kalanten, Kanangen, Keling, Kumering, Lampung, Lawe, Makasar, Malangkabo, Maloko, Manumbi, Mekah, Mesir, Nagara Dekan, Ngogan, Nyiri, Pahang, Parasi, Parayaman, Pasay, Patukangan, Pego, Sabini, Sakampung, Saksak, Samudra, Sapari, Sela, Sembawa, Seran, Simpangtiga, Solodong, Solot, Sunda, Surabaya, Tanjungpura, Tego, dan Tulangbawang. Kecuali Sunda dan lain di luar wilayah Kerajaan Sunda.

Dalam AdG disebut sebelas nama tempat: Baluk, Cina, Galunggung, Jawa, Lampung, Pakuan, Sunda, Taman, Tasikpanjang, Ujung Kembang, dan Winduraja. Sebagian berlokasi di Tatar Sunda (Pakuan, Sunda, Taman, Tasikpanjang, Ujung Kembang, Galunggung, dan Winduraja), sebagian lagi (Baluk, Cina, Jawa, dan Lampung) di luar wilayah Tatar Sunda.

Dalam CP disebut 82 nama tempat, termasuk nama gunung dan sungai: Ancolkiyi, Arile, Balamoha, Balaraja, Bali, Balitar, Barus, Batur, Berawan, Camara Upatah, Cilotiran, Cina, Ciranjang, Cirebon, Citarum (Sungai), Datar, Demak, Denuh, Galuh, Galunggung, Gegelang, Geger Omas, Gunungbanjar, Gunungbatu, Gunung Merapi, Gunungtiga, Hanum, Hujung Cariang, Jampang, Jawa, Jawakalapa, Jawa Pawwatan, Kadul, Kahuripan, Kalapa, Kali Praga, Keling, Kemir, Kiding, Kikis, Kreta, Kuningan.

Lembuhuyu, Madiri, Majapahit, Mananggul, Medang, Medangjati, Medangkahiyangan, Melayu, Menir, Muntur, Nusa Demba, Nusa Larang, Padang, Pagajahan, Pagerwesi, Pakuan, Pakwan Pajajaran, Panggoakan, Parahiyangan, Pengpelengan, Portugis, Puntang, Rajagaluh, Rancamaya, Rumbut, Salajo, Saungagung, Saunggalah, Simpang, Sumedang, Sunda, Taman, Tanjung, Tasik, Tepus, Wahanten Girang, Winduraja, dan Wiru. Pada umumnya daerah/negara tersebut berada di Tatar Sunda, hanya sebagian kecil bertempat di luar Tatar Sunda (Bali, Balitar, Barus, Cina, Demak, Gunung Merapi, Jawa, Jawakalapa, Jawa Pawwatan, Kahuripan, Kali Praga, Keling, Kemir, Majapahit, Melayu, Portugis, Rumbut dan Salajo). [bersambung ke bagian 2]

___________________
Rujukan

Atja. 1968. Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad Ka-16 Masehi. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.

Atja. 1970. Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.

Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Atja & Saleh Danasasmita. 1981a. Sanghiyang Siksakandang Karesian. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Atja. 1981b. Amanat dari Galunggung. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Atja.1981c. Carita Parahiyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Ayatrohaedi. 1981. Masyarakat Sunda Sebelum Islam. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia 9: 1 (Jun 1980/1981): 33-42.

Barbosa, Duarte. 1918. The Book of Duarte Barbosa. London: The Hakluyt Society.

Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.

Danasasmita, Saleh. 1975. Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran. Dalam: Atja (Editor). Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hlm. 40-81. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.

Danasasmita, Saleh. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Darsa Undang A. & Edi S. Ekadjati. 2003. Fragmen Carita Parahiyangan dan Carita Parahiyangan. Dlm. Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda,

Ajip Rosidi (Editor). hlm. 173-208. Bandung: Pusat Studi Sunda (Seri Sundalana I).

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penterjemah: KITLV bersama LIPI). Jakarta: Djambatan.

Ekadjati, Edi S. 1980. Babad Cirebon: Tinjauan Sastra. Majalah Ilmu-ilmu Sastra
Indonesia 9:1 1 (Jun 1980/1981): 1-32.

Ekadjati, Edi S. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan Toyota Foundation.

Ekadjati, Edi S. 1996. Cultural Plurality: The Sundanese of West Java. Dlm. lluminations: The Writing Traditions of Indonesia, edited by Ann Kumar & John H. McGlynn. 101-128. Jakarta [etc.]: The Lontar Foundation & Weatherhill.

Ekadjati, Edi S. 2003. Kebudayaan Sunda Periode Pra-Islam. Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures Tokyo University of Foreign Studies.

Ekadjati, Edi S. 2005. Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Floris, Peter. 1934. The Voyage of Peter Floris. London: The Hakluyt Society.

Leur, J. C. van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Economic History. Bandung-The Hague: Sumur Bandung-van Hoeve.

Meilink-Roelofsz, M.A.P. 1962. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and About 1630. The Hague: Martinus Nijhoff.

Noorduyn, J. 1982. Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source. Bijdragen tot de Taal,- Land- en Volkenkunde 138: 413-442.

Pleyte, C. M. 1913. De Patapan Adjar Soeka Resi, Andersgezegd; Kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede Bijdrage tot de Kenis van het Oude Soenda. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 55: 321-428.

Soemadio, Bambang dll. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutaarga, Moh. Amir. 1982. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tjandrasasmita, Uka dll. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[Sumber: www.wacana.co]
×
Berita Terbaru Update