Oleh: Edi S.Ekadjati [ Penulis adalah sejarawan yang dikenal sebagai pakar naskah Sunda Kuno, Guru Besar dan juga pernah menjadi dosen serta Ketua Pusat Studi Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, BandungSumber Tulisan : Sari, Vol. 25, Universiti Kebangsaan Malaysia]
Khazanah manuskrip Sunda adalah yang ditulis pada daun palma dan berisikan kebudayaan Sunda pra-Islam. Manuskrip ini menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno atau Jawa Kuno. Ada empat buah manuskrip Sunda Kuno yang disusun paling muda pada akhir abad ke-16. Kesemuanya mengandungi banyak data geografi bukan sahaja di Tatar Sunda, bahkan wilayah Asia. Apakah datadata geografi itu bernilai sejarah atau hanya ciptaan pengarangnya? Setelah membandingkannya dengan tiga cacatan orang Portugis yang sezaman, ternyata data-data itu memempunyai kebenaran sejarah.
Data geografi dalam keempat-empat manuskrip Sunda Kuno itu boleh disahkan dengan catatan perjalanan yang ditinggalkan orang Portugis di perairan Asia pada awal abad ke-16 dan ke-17M. Antaranya adalah The Suma Oriental of Tome Pires (SOTP) daripada Tome Pires, seorang Portugis, pada tahun 1513 (Cortesao 1944); The Voyage of Peter Floris (VPF), catatan perjalanan laut Peter Floris pada tahun 1610-1615 (1934), dan The Book of Duarte Barbosa (BDB), catatan perjalanan laut Duarte Barbosa, seorang pegawai Portugis yang ditempatkan di India pada tahun 1500-1516 atau 1517 (1918).
Dalam SOTP tercatat nama beberapa tempat seperti yang disebut dalam manuskrip Sunda Kuno tadi, termasuk Pedir, Pase, Indragiri, Melayu, Sakampung, Tulang Bawang, Andalas, Barus, Minangkabau, Priaman, Bangka, dan Monomby di Pulau Sumatra; Jawa, Sunda, Kalapa, Cirebon, Demak, Gresik, Surabaya, Blambangan di Pulau Jawa; Bali, Lombok, Sumbawa, Solor di wilayah Kepulauan Nusatenggara; Banda, Seram, Ambon, Maluku, Ternate, Tidore, Buton, Banggai, Sulu, Selebes di wilayah Kepulauan Maluku dan Sulawesi; Tanjungpura, Laue, Makasar, Madura di wilayah Kepulauan Tengah; serta Melaka, Melayu, Selat, Selangor, Perak, Kedah, Pahang di Semenanjung Malaya.
Dalam rangka kegiatan perdagangan (Cortesao 1944:268) disebutkan pula namanama tempat/negara di luar Nusantara, seperti Mekah, Parsi, Kerajaan Dekan, Keling, Bengal, Pegu, Campa dan China.
Perjalanan Peter Floris dalam VPF juga mencatat nama banyak tempat di wilayah sekitar perairan Asia Tenggara, termasuk Ceylon, Sumatra, Selat Sunda, Banda, Bangka, Patani, Siam, China, Kedah, Makasar, Maluku, Pegu, Tangu, Ligor, Pahang dan Johor. Tempat itu berhubungan satu sama lain, terutamanya di bidang perdagangan.
Dalam BDB juga dicatatkan nama tempat di perairan Jazirah Arab yang aktif dalam perdagangan, seperti Suez, Medinah, Jedah, Mekah, Persia dan Surat.
Kajian Data Geografi
Keterbatasan tempat dan waktu tidak memungkinkan penulis memperkatakan semua data geografi dalam keempat-empat manuskrip Sunda Kuno. Oleh itu, hanya data geografi yang penting dan menarik akan ditinjau dari konteks peranan masanya.
Dalam hal ini, telah dipilih empat lokasi sebagai wakil di wilayah Tatar Sunda, yaitu Sunda, Kalapa, Pakuan dan Cirebon, sedangkan untuk wilayah di luar Tatar Sunda adalah Jawa dan Demak untuk wilayah Tanah Jawa, Pasai untuk wilayah Sumatra, Tanjungpura untuk wilayah Kalimantan, Bali untuk wilayah Nusatenggara, Seram untuk wilayah Maluku, dan Buton untuk wilayah Sulawesi, Mekah untuk wilayah Jazirah Arab, Parsi untuk wilayah Teluk Parsi, Negara Dekan untuk wilayah India, Pegu untuk wilayah Teluk Benggala dan Kedah untuk Semenanjung Tanah Melayu.
Seperti yang telah dinyatakan sebelum ini bahwa Sunda adalah wilayah disebut dalam SSK, AdG, CP dan SOTP. Dalam CP, Sunda adalah sebuah kerajaan dengan wilayahnya meliputi bahagian sebelah barat Tatar Sunda dari Sungai Citarum ke barat, walaupun pada masa lain wilayahnya meliputi seluruh Tatar Sunda. Kerajaan ini adalah lanjutan dari Kerajaan Tarumanagara yang didirikan Tarusbawa[1] pada akhir abad ke-7M dan runtuh dalam masa pemerintahan Nusiya Mulya (Ragamulya Suryakancana) pada tahun 1579, setelah melalui pemerintahan paling tidak 33 orang raja.
Ia adalah kerajaan pertanian di pedalaman yang ditunjangi kegiatan maritim di pesisir utara dengan tiga buah pelabuhan penting, yaitu Banten, Kalapa dan Cirebon (Atja 1968; Atja & Saleh Danasasmita 1981b; Sutaarga 1982; Danasasmita 1975; 2003; Ayatrohaedi 1981; Ekadjati 2003). Pengarang SSK mengatakan Sunda sebagai diri sendiri dan kerajaan milik sendiri (Atja & Saleh Danasasmita 1981a:18, 43-44)[2]
Dalam AdG, Sunda dipandang sebagai pihak luar yang dikhuatirkan merebut sumber kemuliaan dan kesaktian kerajaan, terutamanya kabuyutan Galunggung (Atja & Saleh Danasasmita 1981b:29, 35)[3], mungkin kerana pengarangnya berasal dari Kerajaan Galuh, lagipun suasana masa itu adalah tidak tenteram antara Galuh dan Sunda.
Tome Pires yang menyusuri pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 1513 telah singgah di enam kota pelabuhan di wilayah Kerajaan Sunda, yaitu Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Kalapa dan Cimanuk. Beliau singgah pula di kota pelabuhan Cirebon di luar wilayah Kerajaan Sunda (Cortesao 1944: 167-173). Kerajaan Sunda telah dijelaskan Tome Pires (Cortesao Ibid: 166):
First the king of Çunda with his great city of Dayo, the towns and lands and port of Bantam, the port of Pontang (Pomdam), the port of Cheguide, the port of Tamgaram, the port of Calapa, the port of Chi Manuk (Chemano); this is Sunda, because the river of Chi Manuk is the limit of both kingdoms.[4]
Jadi, Sungai Cimanuk telah dijadikan batas di sebelah timur antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Jawa. Mengenai luasnya wilayah Kerajaan Sunda, Tome Pires mendapat dua maklumat. Kalau yang satu mengatakan luasnya setengah dari keseluruhan Pulau Jawa, sedangkan pihak lain menyebut sepertiga bahagian (ada yang mengatakan lebih dari seperdelapan) dari Pulau Jawa. Adapun keliling wilayah Kerajaan Sunda adalah 300 liga (league)[5].
Menurut penduduk setempat, sejak mulanya Tuhan membahagikan Pulau Jawa kepada dua bahagian, sebahagian wilayah Sunda dan sebagian lagi wilayah Jawa dengan batasnya sungai yang pada kedua-dua belahnya ditumbuhi pohon-pohon tinggi, besar dan indah (Cortesao 1944:166-167). Joao de Barros, orang Portugis lain yang pada tahun 1516 mencatat tentang Kerajaan Sunda telah menerangkan bahawa pedalaman Sunda lebih bergunung-gunung daripada wilayah pedalaman Jawa.
Negeri ini sangat kaya dengan bermacam-macam makanan. Penduduknya tidak suka perang, dan hidup mereka mengutamakan penyembahan dewa. Namun, dari seluruh kerajaan dapat dikerahkan sebanyak 100.000 orang tentera (Djajadiningrat 1983:83-84). Ternyata maklumat itu sejalan dengan keadaan alam Tatar Sunda masa sekarang.
Kalapa telah disebut sebagai kota pelabuhan dalam BM, CP dan SOTP. Kota itu terletak di muara Sungai Ciliwung dan adalah kota pelabuhan utama Kerajaan Sunda. Namanya telah berubah berulang kali, yaitu Jayakarta (1527), Batavia atau Betawi (1619), dan Jakarta (1942)[6]. Ia pernah disinggahi Bujangga Manik dan Tome Pires. Kiranya Bujangga Manik tidak menjelaskan keadaan kota pelabuhan itu, tetapi Tome Pires menerangkannya:
The port of Calapa is a magnificent port. It is the most important and best of all. This is where the trade is greatest and whither they all sail from Sumatra, and Palembang, Laue, Tamjompura, Malacca, Macassar, Java and Madura and many other places. … This port is two days’ journey from the city of Dayo where the king is always in residence, so that this is the one to be considered the most important (Cortesao 1944: 172).
Dalam CP, Kalapa dinyatakan sebagai tempat yang diperangi dua orang raja Sunda (Prebu Surawisesa dan Nusiya Mulya), agaknya, kerana terjadinya pemberontakan dengan musuh mendatangi kota pelabuhan itu (Atja & Saleh Danasasmita 1981c:16, 18, 36, 38)[7]. Jadi, Kalapa adalah kota pelabuhan terpenting kepada Kerajaan Sunda dan dapat berhubungan langsung dengan ibu kota kerajaan (Dayo).
Maklumat tentang Pakuan tercatat juga dalam BM, AdG, CP[8], dan SOTP. Ia atau disebut pula sebagai Pakuan Pajajaran adalah ibu kota Kerajaan Sunda di tepi Sungai Ciliwung dan sekarang menjadi kota Bogor. Dalam bahagian Fragmen Carita Parahiyangan (FCP), Pakuan dibangunkan Maharaja Trarusbawa, pendiri Kerajaan Sunda (Darsa & Edi S. Ekadjati 2003:176-178). Sejak itu (akhir abad ke-7) sampai tahun 1579, Pakuan menjadi ibu kota Kerajaan Sunda.
Dalam CP, pendiri Kerajaan Sunda itu disebut Tohaan di Sunda. Pakuan dinyatakan sebagai tapak pemerintahan beberapa orang raja Sunda, walhal semua raja Sunda secara rasminya berada di Pakuan. Setelah Prebu Surawisesa mematahkan pemberontakan di beberapa daerah, ia pulang ke Pakuan (Atja & Saleh Danasasmita 1981c:16-17, 36)[9].
Bujangga Manik sendiri, alias Perebu Jayapakuan, pengarang BM, tinggal di keraton Pakuan, sehingga masa melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa dan Bali dan pulang ke tempat tinggal keluarganya di Pakuan (Noorduyn 1982). Di bahagian awal AdG, dinyatakan bahawa keseluruhan teksnya adalah tanda peringatan ketika Rahiyang Banga, pendiri Kerajaan Sunda, membangunkan parit pertahanan Pakuan.[10]
Tome Pires dalam catatan perjalanannya tidak menyebut dan tidak pernah mengunjungi Pakuan, lebih-lebih lagi dikaitkan sebagai ibu kota Kerajaan Sunda. Tetapi, sebagaimana dipetek tadi bahawa menurut Tome Pires tempat pemerintahan raja Sunda adalah di Dayo. Oleh kerana tidak dinyatakan dalam sumber lain, termasuk sumber orang Portugis yang lain, kiranya Dayo bukanlah nama tempat, melainkan berasal dari kosa kata dalam bahasa Sunda “dayeuh” yang berarti kota.
Rupanya, Tome Pires mendapat maklumat dari pejabat atau penduduk setempat ketika berada di Kalapa bahawa raja berkedudukan di dayeuh. Sehubungan itu, Tome Pires tersalah dengar (dayo) dan tersalah mengerti (dikira nama tempat) untuk kata dayeuh itu. Mengenai tempat kedudukan raja Sunda atau Dayo, Tome Pires menjelaskan:
The city where the king is most of the year is the great city of Dayo. … This city is two days’ journey from the chief port, which is called Calapa (Cortesao 1944:168).
Portugis lain, Joao de Baros, pada tahun 1516 memberitakan pula tentang ibu kota Kerajaan Sunda yang disebutnya agak berbeza, yaitu Daio, yang terletak sedikit ke pedalaman. Kota itu mempunyai penduduk sekitar 50 000 orang (Djajadiningrat 1983:83). Jadi, Dayo bukanlah kota pelabuhan, tetapi kota besar yang paling lama sepanjang tahun menjadi tempat kedudukan raja dan lokasinya berjarak dua hari perjalanan dari kota pelabuhan utama Kalapa.
Perjalanannya tentu bukan menyusuri pesisir, tetapi ke pedalaman dengan menyusuri Sungai Ciliwung. Jika demikian, yang dimaksud Dayo oleh Tome Pires dan Daio oleh Barros itu ialah Pakuan. Demikian juga maklumat dari orang Sunda sendiri (BM, CP, AdG dan sumber lain).
Yang menarik perhatian adalah Bujangga Manik tidak menyebut Cirebon dalam catatan perjalanannya, walaupun ia mengikut perjalanan di pesisir utara dan menempuh perjalanan melalui daerah sebelah utara Gunung Ciremai. Setelah melewati Gunung Ciremai, beliau berjalan ke hala selatan ke wilayah pedalaman sehingga disebut beberapa nama tempat di daerah Kabupaten Kuningan sekarang, yaitu Timbang, Kuningan, Darma, dan Luhur Agung.
Beliau kelihatan menjauhi kota pelabuhan Cirebon yang berjarak kurang dari 10 km dari lereng Gunung Ciremai. Pada hal di wilayah Jawa, beliau menyebut Demak di daerah pesisir, meskipun tidak mengunjunginya (Noorduyn 1982). Sebagai orang keraton Pakuan, rupanya beliau turut kesal kepada penguasa Cirebon yang telah memeluk Islam, seperti halnya Demak, yang menghentikan pengiriman pajak (antara lain berupa terasi) kepada raja Sunda di Pakuan.
Cirebon disebut dalam CP dan SOTP. Dalam CP, Cirebon bersama Demak bukan sahaja menjadi pusat kegiatan Islamisasi, tetapi juga satu penyebab runtuhnya Kerajaan Sunda (Atja & Saleh Danasasmita 1981c:19, 38).[11] Cirebon, disebut Cheroboam, pernah dikunjungi Tome Pires sesudah Cimanuk (Indramayu sekarang) dan sebelum Japura, Losari, Tegal (terletak di pesisir sebelah timur kota Cirebon sekarang). Cirebon dijelaskan sebagai:
The land of Cherimon is next to Sunda; … This Cherimon has a good port and there must be three or four junks there. It has a great deal of rice and many foodstuffs; it must have as many as ten small lancharas- … This place Cherimon must have up to a thousand inhabitants. … This place Cherimon is about three leagues up the river; junks can go in there (Cortesao 1944:183).
Jadi, Cirebon adalah kota pelabuhan keluar-masuknya kapal, junk dan lancara. Kota itu terletak di pinggir sungai agak ke bahagian dalam sekitar tiga liga jaraknya.
Kota-kota pelabuhan Kerajaan Sunda dan Cirebon biasa didatangi pedagang dari banyak negara. Antaranya Maladewa (kepulauan di Samudera Hindia), Sumatra (Pansur, Priaman, Andalas, Tulang Bawang, Sekampung, Palembang), Kalimantan (Tanjungpura, Laue)[12], Melaka, Makasar, Jawa (Demak, Jepara, Gresik), Madura, India (Cambay), China (Cortesao 1944:169-183).
Menurut sumber tradisi Cirebon, Islamisasi di daerah ini dirintisi ulama dari Tanah Arab (Syekh Datuk Kahpi, Syekh Nuruljati, Sunan Gunung Jati, Sunan Panjunan) dan Pasai (Fatahillah dalam sumber Portugis disebut Faletehan, lihat: Djajadiningrat 1983).
Jawa juga diberitakan dalam BM, SSK, AdG, CP dan SOTP. Menurut BM, perbatasan antara wilayah Sunda dan wilayah Jawa adalah Sungai Cipamali:
Sadatang ka tungtung Sunda, meuntasing di Cipamali, datang ka alas Jawa. Ku ngaing geus kaideran, lurah-lerih Majapahit, palataran alas Demak (Noorduyn, 1982).[13]
Menurut BM, Jawa pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 meliputi wilayah Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Demak. Dalam SSK, Jawa disebut bukan sahaja sebagai wilayah yang biasa dikunjungi orang Sunda, tetapi juga digambarkan mempuyai bahasa dan adat Jawa yang berbeza dengan bahasa dan adat Sunda sehingga perlu dipelajari orang Sunda yang mengembara ke Jawa (Atja & Saleh Danasasmita 1981a:18, 43-44).
Dalam AdG, Jawa adalah sebuah negara, dengan negara lainnya, seperti Baluk, China, Lampung, dikhuatiri akan merebut kabuyutan (mandala) Galunggung yang menjadi sumber kemuliaan dan kesaktian orang Sunda (Atja & Saleh Danasasmita 1981b:29, 35). Jawa disebut sebanyak empat kali dalam CP. Pertama, Jawa diungkapkan diperintah oleh Rahiyang Isora dapat dikuasai oleh Rahiyangtang Kuku yang berkuasa di Kerajaan Kuningan (Atja & Saleh Danasasmita 1981c:10, 30).
Kedua dan ketiga, dinyatakan Sang Resi Guru Demunawan mencipta keseimbangan kekuatan di Pulau Jawa dengan membahagi wilayah kekuasaan dan menetapkan pemegangnya antara kawasan Jawa dengan kawasan Sunda. Dalam hal ini, Sang Manarah ditetapkan sebagai raja di Jawa dan Rahiyang Banga menjadi raja di Sunda (Atja & Saleh Danasasmita 1981c:13, 33).
Keempat, tatkala mengutarakan peristiwa Bubat, yaitu pertempuran antara pasukan Majapahit dengan tentera pengiring raja Sunda di Bubat akibat politik pernikahan puteri Sunda (Tohaan, Dewi Citraresmi, Dyah Pitaloka) dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit. Pada kesempatan itu, banyak orang Sunda pergi ke Jawa dan tewas (Atja & Saleh Danasasmita 1981c:15, 35).[14] Peristiwa Bubat itu terjadi pada tahun 1357.
Menurut cerita penduduk setempat yang didengar Tome Pires, Pulau Jawa terdiri atas Sunda dan Jawa. Sunda meliputi wilayah dari Banten hingga Cimanuk, sedangkan Jawa meliputi wilayah dari Cirebon hingga Balangbangan. Madura adalah pulau besar sendiri. Kota pelabuhan di pesisir utara Jawa yang disinggahi Tome Pires adalah Cirebon, Japura, Losari, Tegal, Semarang, Demak, Tidunan, Jepara, Rembang, Tuban, Sidayu, Gresik, Surabaya, Gamda, Balangbangan, Pajarakan, Camta, Panarukan, dan Chamdy (Cortesao 1944:166). Tome Pires menerangkan Jawa sebagai:
The island of Java is a large country, four hundred leagues round, beginning at Chi Manuk and going along the Blambangan side and turning along the other side to the other end. We will not speak of the sea-coast now, but only of the hinterland. It is well shaled country, not marshy but of the some type as Portugal, and very healthy (Cortesao 1944:174).
Pesisir selatan Pulau Jawa tidak disusuri Tome Pires, maka tidak ada keterangannya tentang wilayah itu dalam catatan perjalanannya, kiranya disebabkan tidak ada perdagangan yang penting di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa
Meskipun tidak ada maklumat tentang lokasi Jawa dalam SSK dan AdG, namun dalam BM, CP dan SOTM, posisinya adalah di sebelah timur Sunda. Pada umumnya keseluruhan wilayah Jawa dengan kota-kota pelabuhan yang disebut Tome Pires serta tempat-tempat yang disebut Bujangga Manik adalah sama, kecuali mengenai batas wilayah Jawa dengan Sunda. Dalam BM, tapal batas antara kedua-dua wilayah itu adalah Sungai Cipamali di daerah Brebes dan namanya kini menjadi Kali Pemali, sedangkan menurut Tome Pires batasnya adalah Cimanuk yang menjadi kota pelabuhan dan muara sungai di sebelah barat Cirebon.
Perbedaan itu mungkin disebabkan suasana sosial pada waktu Tome Pires datang di kota-kota pelabuhan: Cimanuk, Cirebon, Japura, Losari dan Tegal, yaitu dalam suasana Islamisasi dan kegiatan perniagaan yang umumnya dilakukan orang Jawa. Sebagai orang asing yang pertama kali datang ke situ, beliau tidak mengenal masyarakat pedalamannya yang berbahasa dan berbudaya Sunda serta umumnya masih menganut agama dan kebudayaan Hindu/ Budha.
Sebaliknya, Bujangga Manik, orang Sunda yang lahir dan besar di wilayah pedalaman Sunda tahu keadaan dan suasana di lingkungan Kerajaan Sunda dan juga Kerajaan Jawa. Selain itu, Bujangga Manik tidak datang ke kota-kota pelabuhan: Cimanuk, Cirebon, Japura, dan Losari, kerana perjalanannya menyusuri daerah agak ke pedalaman (Noorduyn 1982).
Demak juga disebut dalam BM, CP dan SOTP. Seperti telah dinyatakan sebelum ini, dalam BM wilayah Demak adalah sebahagian dari Tanah Jawa, sedangkan Majapahit adalah bahagian lainnya. Pada waktu itu, akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, Demak dengan penduduknya telah menganut agama Islam sudah berdiri sendiri dan terpisah dari Kerajaan Majapahit yang sudah ada lebih dahulu (sejak 1293) dengan penduduknya menganut agama Hindu/Budha.
Lokasi Demak, menurut BM, adalah di sebelah timur Pandhanarang (Semarang sekarang) dan menyebut tiga nama tempat lain: Pidada (Pidodo sekarang), Jemas, dan Welahulu sebagai tempat yang berdekatan dengan Demak, bahkan wilayah Demak dikatakan berada di sebelah kiri (utara) Jemas (Noorduyn 1982). Demak digambarkan CP seperti gambaran mengenai Cirebon. Keduaduanya menyebabkan runtuhnya Kerajaan Sunda dan menjadi pusat kegiatan Islamisasi, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang campur tangan keduaduanya dalam urusan Kerajaan Sunda.
Dari dua sumber tradisi Cirebon, yaitu Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon dapatlah diketahui bahawa Demak membantu Cirebon dalam menyebarkan agama dan menegakkan kekuasaan Islam di Tatar Sunda (Atja 1986; Ekadjati 1980; 2005). penguasaan Banten dan Kalapa dilakukan dengan kekerasan senjata melalui pengiriman gabungan armada Demak dan Cirebon pada tahun 1526 dan 1527 sebagaimana dicatat Barros, orang Portugis yang lain (Djajadiningrat 1983:81-82).
Sikap sinis pengarang CP terhadap Cirebon dan Demak dapat difahami, kerana pada waktu itu (akhir abad ke-16) ia adalah mantan warga Kerajaan Sunda yang masih beragama Hindu-Budha dan menetap di Galuh, sekitar 100 km sebelah selatan Cirebon.
Dalam SOTP dinyatakan Demak yang dikunjungi Tome Pires dengan dipimpini Pate Rodim (Raden Patah) dan sudah menjadi kerajaan Islam, yang lebih dahulu lahir dan lebih besar kuasanya daripada Cirebon. Mengenai lokasi Demak dijelaskan:
The land of Demak is bounded on one said by Samarang and on the other by the land of Tidunan (Tidanã). The land of Demak is larger than those we have described from Cherimon up to Demak. Its city has about eight or ten thousand houses, according to what they say. Pate Rodim is lord of this country. He is the chief pate in Java. … Demak has a rich river. Junks cannot enter except a full tide (Cortesao 1944:184, 186).
Jadi, lokasi Demak adalah di antara Semarang (di sebelah barat) dengan Tidunan (di sebelah timur) seperti yang dinyatakan dalam BM. Demikian juga keadaannya sekarang.
Selanjutnya, Pasai dinyatakan dalam SSK dan SOTP. Dalam SSK, Pasay (Pasai) disebut sebagai negara yang mempunyai bahasanya sendiri yang difahami jurubasa Darmamurcaya (penterjemah) di Sunda, walaupun tisak dijelaskan lokasinya (Atja & Saleh Danasasmita 1981a:17, 42-43). SOTP bukan sahaja menyebut nama Pase (Pasai) berulang kali, tetapi juga menerangkan lokasi dan persekitarannya.
The rich kingdom of Pase has many inhabitants and much trade. On one side it is bounded by the kingdom of Pirada, as I have already said, and on the other by the land of Bata, the king of which is the Tamjano. The land of Pase stretches along by the sea coast. Its frontiers on the inland side of the island coincide with those of the king of Manicopa, which goes out to the sea on the other side, and with whom they are sometimes at war. … The kingdom of Pase has the city which is called Pase, and some people call it Çamotora (Sumatra). Because there is nothing else so important in the whole island, the city has thus given its name to the whole island, being called by either of these names. This city has not less than twenty thousand inhabitants. Thus the kingdom of Pase has large towns with many inhabitans towards the interior (Cortesao 1944:142-143).
Jadi, Pasai terletak di Pulau Sumatra, tentunya bahagian pesisir, berbatasan dengan Kerajaan Pirada di sebelah utara dan tanah Batak di sebelah selatan. Kerajaan Pirada yang terletak di sebelah utara Kerajaan Aceh. Waktu itu, baik Pasai, Pirada, atau Aceh adalah kerajaan Islam. Lebih jauh dijelaskan bahawa Kesultanan Pasai sedang berkembang menjadi negara yang makmur, kaya, kerana banyak pedagang muslim dan Keling, setelah Kesultanan Melaka dan Pedir mengalami kemunduran akibat perang. Pedagang yang melakukan perniagaan besar di Pasai terdiri daripada orang Bengali, Rum, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Keling, Melayu, Jawa dan Siam.
Selanjutnya, Bali juga dicatat dalam BM, SSK, CP dan SOTP. Sehubungan itu, Bujangga Manik memang mengunjungi Bali, walaupun catatannya tentang Bali sedikit. Beliau (dijuluki mahapandita) menyeberang ke Bali dari Balungbungan (Blambangan sekarang yang terletak di ujung timur Pulau Jawa sebelah selatan Banyuwangi)16 dengan menumpang kapal (parahu) yang dinakhodai (puhawang) Selabatang dan kapal itu terus belayar ke Bangka.
Dalam perjalanan pulangnya dari Bali ke Balungbungan, beliau menaiki kapal besar di bawah nakhoda Belasagara yang terus belayar ke Palembang dan Parayangan (Pariaman di Sumatra Barat) (Noorduyn 1982). Dalam SSK, disebut Bali adalah tempat yang bahasanya dimengerti jurubasa Darmamurcaya di Sunda, walaupun tidak dijelaskan lokasinya (Atja & Saleh Danasasmita 1981a:17, 42-43).
Bali dalam CP diungkapkan sebagai nama negara yang diperintah Sang Ratu Bima dan dikuasai Rahiyangtang Kuku. Penggambarannya dalam konteks yang tidak jelas dan pada masa lebih lama (sekitar masa awal Kerajaan Galuh dan Sunda) (Atja & Saleh Danasasmita 19881c:17, 42-43).
Maklumat tentang Bali yang lebih jelas boleh didapati dari SOTP. Setelah Pulau Jawa, kapal Tome Pires belayar ke arah timur. Sehuhungan itu, disebut pulau di Nusatenggara yang urutannya dari barat ke timur, yaitu Bali, Lombok, Sumbawa, Bima, Sangeang, Solor, Alor, Kambing, Citor dan Batojmbey. Keterangan tentang Bali, Lombok dan Sumbawa juga disatukan dalam SOTP
adalah:
The islands of Bali, and Lombok, and Sumbawa. The first island next to Java is Bali, and the other is Lombok and the other Sumbawa. All these have kings. Each of them has many ports and many waters, many foodstuffs, many slaves, male and female (Cortesao 1944:201-202).
Tampak adanya situasi dan kondisi tersendiri di wilayah ini, yaitu didapatkan banyak budak belian, baik pria maupun wanita.
Tanjungpura disebut dalam SSK dan SOTP. Keterangan tentang Tanjungpura dalam SSK adalah sama dengan Pasai dan Bali, yaitu tempat yang mempunyai bahasa mandiri yang dapat difahami jurubahasa di Sunda (Atja & Saleh Danasamita 1981a:17, 42-43). Dalam SOTP, Tanjungpura berada di kepulauan bahagian tengah Nusantara. Lokasinya digambarkan:
The island of Tanjompura is an island which can be reached from Malacca in fifteen days in the monsoon. They go there along the Singapore channel and along the Kampar [channel]; they take their course near Linga, between the islands of Linga and Monoby. This island is heathen; it is almost entirely subject to Pate Unus, lord of Japara. This island has a Pate governor who is lord of the island. It is an island fifty leagues round. … The people of this island are traders (Cortesao 1944:223-224).
Dalam catatan kaki ada dijelaskan bahawa Tanjungpura terletak di pesisir selatan Pulau Borneo (Kalimantan) (Cortesao Ibid: 223-224).
Maklumat tentang Seram hanya terdapat dalam SSK dan SOTP. Maklumat tentang Seram dalam SSK adalah sama dengan Pasai dan Bali. SOTP menerangkan agak lengkap tentang Seram itu:
Two days’ sail away, or less, is the end of the large island of Ceram (Ceira), this is leaving out Amboina (Ambom), because Amboina is almost up against the islands of Ceram. The islands of Ceram begin at the island of Goram (Guram) and almost touch the Moluccas; and the island is narrow and can be navigated on the inside along by Amboina as well as on the outside, and so it has ports on both sides, and villages island (Cortesao 1944:211-212).
Jadi, Ceram adalah pulau dekat Ambon (Banda), di Kepulauan Maluku sekarang.
SSK menyebut Beten sebagai negara dengan bahasa yang dikenali jurubahasa Darmamurcaya dari Sunda. Yang dimaksudkan Beten adalah Buton, kerana selain bunyinya berdekatan, nama tempat di sekitarnya dapat juga dikenali sesuai dengan nama tempat sekarang, termasuk Jenggi (Makasar), Sembawa (Sumbawa), Maloko (Maluku) (Atja & Saleh Danasasmita 1981a:17, 42-43).
Tome Pires tidak menjelaskan secara khusus tentang Buton, tetapi menerangkannya sebagai perjalanan dagang yang paling dekat dari Singapura ke Maluku, yaitu Singapura – Borneo (Kalimantan) – Butum (Buton) – Maluku. Dalam catatan kaki, yang dimaksud Butum itu adalah Pulau Buton yang berperanan sebagai perpanjangan jazirah tenggara Sulawesi. Sehubungan itu, Banda terletak di sebelah timur bahagian utara Buton (Cortesao 1944:220).
Untuk mengenali nama tempat di luar wilayah Indonesia sekarang, dalam SSK juga diungkapkan sejumlah nama tempat yang bahasanya dikenali juru bahasa Darmamurcaya di Sunda, maka juga dikenali orang Sunda lainnya, paling tidak pedagang dan orang yang ada hubungan perniagaan dan perkapalan. Nama tempat itu termasuk Gedah (Kedah), Kalanten (Kelantan), Pahang, Cempa (Campa), Cina, Pego (Pegu), Banggala (Benggala), Parasi (Persia), Mesir, Nagara Dekan (di India), Dinah (Medinah), dan Mekah. Sehubungan itu, BM menyebut Melaka.
Masa ia pulang dari Pemalang ke Kalapa, tidak mahu mengikut jalan darat seperti semula, tetapi naik kapal orang Melaka. Selain itu, menyebut pula Parasi (Persia) sebagai tujuan pelayaran kapal itu. AdG mengungkapkan China sebagai negara yang dikhuatiri dapat merebut tempat suci keagamaan di Sunda. CP menyatakan dua buah negara, yaitu Cina dan Patege (Portugis).
Nama negara yang disebut dalam tiga sumber orang Portugis tadi adalah Kedah, Kelantan, Pahang dan Melaka di Malaya (sekarang Malaysia); Campa adalah kota pelabuhan yang di Vietnam sekarang; China sudah menjalin hubungan perdagangan dan diplomat dengan kerajaan di Nusantara sejak abad ke-5; Pegu adalah kota pelabuhan yang sekarang termasuk ke dalam Birma (sekarang Myanmar); Banggala dan Nagara Dekan terletak di pesisir anak benua India; Parasi adalah negara di Teluk Persia yang sekarang menjadi Iran; Medinah dan Mekah di Jazirah Arab yang pada masa hidup Nabi Muhammad S.AW. pun (abad ke-6 dan ke-7) sudah termasyur perniagaannya, baik di darat atau di laut selain sudah mengenal negara China; serta Portugis mulai berhubungan langsung untuk kegiatan perdagangan.
Terutamanya rempah-ratus dengan negara di Asia melalui Lautan Hindia sejak akhir abad ke-15 (Vasco de Gama tiba di India tahun 1498) dan pada tahun 1508 berhasil menduduki Goa dan pada tahun 1511 berhasil menduduki Melaka untuk dijadikan pusat kegiatan perdagangan dan kekuasaannya di Asia. Selain itu, disebut pula pembahasan tentang hubungan dan kegiatan perdagangan antara negara di perairan Asia, seperti pada buku Indonesian Trade and Society karya J.C. van Leur (1955), Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630 karya Meilink-Roelofs (1962), dan Sejarah Nasional Indonesia jilid II karya Soemadio dkk. (1975) dan jilid III karya Tjandrasasmita dkk. (1975).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat diperolehi gambaran bahawa semasa Kerajaan Sunda (sejak abad ke-16) telah terjalin hubungan budaya, dagang dan diplomat dengan negara di Nusantara, Asia Pesisir dan Eropa. Hubungan itu meningkatkan kemakmuran negara dan kesejahteraan rakyatnya, walaupun diselingi konflik. Meskipun Kerajaan Sunda adalah negara pertanian dan ibu kotanya di pedalaman, namun kerajaan ini membuka diri untuk berhubungan dengan negara lain, terutamanya kegiatan perdagangan laut.
Kegiatan pertanian di daerah pedalaman dan kegiatan perniagaan dan perkapalan di daerah pesisir memungkinkan Kerajaan Sunda mencapai kemakmuran untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.
Data-data terjalinnya hubungan perdagangan dan diplomat antara Kerajaan Sunda dengan kerajaan lain membuktikan bahawa kerajaan ini menganut kebijakan membuka diri dalam hubungan internasional. Hubungan tersebut bukan hanya terjalin dengan kerajaan lain di Nusantara, tetapi juga kerajaan di Asia (Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Barat) dan Eropa (Portugis).
[Selesai]
_______________
[1]. Tokoh ini dalam CP disebut Tohaan di Sunda.
[2]. Teksnya: “Kitu upamana urang leumpang ka Jawa, hamo nurut carékna deungeun carana, mangu rasa urang. Anggeus ma urang pulang deui ka Sunda, hanteu bisa carék Jawa, asa hanteu datang nyaba” (Demikianlah, umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa dan adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbahasa Jawa, seperti yang tidak pernah bepergian).
[3]. Teksnya: “Jaga, dapetna pretapa, dapetna pegengeun sakti, beunangna ku Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, bunyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na Galunggung” (Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang [orang asing] yang akan merebut kabuyutan Galunggung).
[4]. Yang dimaksud dua kerajaan di sini adalah Kerajaan Jawa dan Kerajaan Sunda.
[5]. 1 liga = 3,2 mil atau 5,9 km, sebagaimana dijelaskan oleh Cortesao (1944:165) pada catatan kaki berdasarkan sumber dari para pedagang muslim (the Moors) bahwa keliling Pulau Sumatra adalah 700 liga (700 leagues) yang sama dengan 2.240 mil atau 4.144 kilometer.
[6]. Perubahan nama dari (Sunda) Kalapa menjadi Jayakarta yang ditafsirkan terjadi tanggal 22 Juni 1527 sejak tahun 1950-an ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta yang setiap tahun biasa diperingati oleh pemerintah dan masyarakat DKI Jaya.
[7]. Teksnya: “Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah” (Perang ke Kalapa dengan Aria Burah) dan “Prang ka Kalapa, éléh na Kalapa” (Perang ke Kalapa, kalah Kalapa).
[8]. Juga dalam bagian lain naskah CP yang disebut Fragmen Carita Parahiyangan (FCP).
[9]. Teksnya: “Prangrang lima welas kali, hanteu éléh, ngalakukeun bala saréwu. … Ti inya nu pulang ka Pakwan deui” (Ia berperang limabelas kali, tidak kalah, mengerahkan pasukan 1000 orang. … Kemudian ia kembali ke Pakuan).
[10]. Teksnya: “Nihan tembey sakakala Rahyang Banga, masa sya nyusuk na Pakwan” (Inilah tanda peringatan Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit pertahanan Pakuan).
[11]. Teksnya: “Pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon” (Semua kalah oleh Islam. Demikianlah, dikuasai oleh Demak dan Cirebon).
[12]. Tanjungpura adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di pesisir selatan Kalimantan (on the south coast of Borneo) yang jaraknya 15 hari pelayaran dari Malaka. Laue pun sebuah kota pelabuhan pula yang terletak di pesisir barat daya Kalimantan (on the south-west coast of Borneo) di sebelah barat Tanjungpura dan jaraknya selama 4 hari pelayaran dari Tanjungpura (Cortesao 1944:223-225). Dalam naskah Sunda Laue disebut Lawe.
[13]. Terjemahannya: Sesampai di tapal batas Sunda, menyeberangi (Sungai) Cipamali, sampailah ke tanah Jawa. Sudah kususuri, daerah-daerah Majapahit, tempat-tempat tanah Demak.
[14]. Teksnya: “Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabanca ku seuweu dimanten ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang reya sangkan nu angkat ka Jawa. Mumul nu lakian di Sunda. Panprangrang di Majapahit” (Berputra Prebu Maharaja, menjadi raja selama 7 tahun; karena terkena perbuatan khianat, mendapat bencana oleh puterinya bernama Tohaan. Ia menginginkan mas kawin yang besar. Itulah sebabnya banyak orang [Sunda] pergi ke Jawa, [karena] tidak mau bersuami di Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit).
[15]. Kapal Inggeris dan kapal Belanda pertama datang ke kota pelabuhan ini masingmasing pada tahun 1588 (Cavendish) dan 1597 (Cornelis de Houtman).
Rujukan
Atja. 1968. Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad Ka-16 Masehi. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
Atja. 1970. Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Atja & Saleh Danasasmita. 1981a. Sanghiyang Siksakandang Karesian. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Atja. 1981b. Amanat dari Galunggung. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Atja.1981c. Carita Parahiyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaedi. 1981. Masyarakat Sunda Sebelum Islam. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia 9: 1 (Jun 1980/1981): 33-42.
Barbosa, Duarte. 1918. The Book of Duarte Barbosa. London: The Hakluyt Society.
Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
Danasasmita, Saleh. 1975. Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran. Dalam: Atja (Editor). Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hlm. 40-81. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
Danasasmita, Saleh. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Darsa Undang A. & Edi S. Ekadjati. 2003. Fragmen Carita Parahiyangan dan Carita Parahiyangan. Dlm. Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda,
Ajip Rosidi (Editor). hlm. 173-208. Bandung: Pusat Studi Sunda (Seri Sundalana I).
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penterjemah: KITLV bersama LIPI). Jakarta: Djambatan.
Ekadjati, Edi S. 1980. Babad Cirebon: Tinjauan Sastra. Majalah Ilmu-ilmu Sastra
Indonesia 9:1 1 (Jun 1980/1981): 1-32.
Ekadjati, Edi S. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan Toyota Foundation.
Ekadjati, Edi S. 1996. Cultural Plurality: The Sundanese of West Java. Dlm. lluminations: The Writing Traditions of Indonesia, edited by Ann Kumar & John H. McGlynn. 101-128. Jakarta [etc.]: The Lontar Foundation & Weatherhill.
Ekadjati, Edi S. 2003. Kebudayaan Sunda Periode Pra-Islam. Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures Tokyo University of Foreign Studies.
Ekadjati, Edi S. 2005. Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Floris, Peter. 1934. The Voyage of Peter Floris. London: The Hakluyt Society.
Leur, J. C. van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Economic History. Bandung-The Hague: Sumur Bandung-van Hoeve.
Meilink-Roelofsz, M.A.P. 1962. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and About 1630. The Hague: Martinus Nijhoff.
Noorduyn, J. 1982. Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source. Bijdragen tot de Taal,- Land- en Volkenkunde 138: 413-442.
Pleyte, C. M. 1913. De Patapan Adjar Soeka Resi, Andersgezegd; Kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede Bijdrage tot de Kenis van het Oude Soenda. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 55: 321-428.
Soemadio, Bambang dll. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutaarga, Moh. Amir. 1982. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tjandrasasmita, Uka dll. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[sumber: http://www.wacana.co/]