-->

Iklan

Etos Kerja Masyarakat Sunda dalam Perspektif Al-Qur’an

terasmudacianjur
Sabtu, 08 September 2018, 09.00 WIB Last Updated 2024-06-24T18:42:35Z

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial; — “kebudayaan” sifat, nilai, dan adat-istiadat suatu golongan dalam masyarakat, — “kerja” semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Kata “etos” berasal dari bahasa Yunani “ethikos” yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral; sikap, kepribadian, watar, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Jika melihat definisi “etos” dari KBBI yang disandingkan dengan kata “kerja”, maka dapat dipahami bahwa etos kerja adalah karakter atau pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial tentang suatu pekerjaan.

Kesadaran akan etos kerja harus mampu dilakukan setiap manusia setiap saat. Sebuah kesadaran dapat dicapai jika manusia mampu mengoptimalkan kerja akal. Allah swt menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna diantara yang lainnya. Kesempurnaan itu ditandai dengan pemberian akal pada manusia oleh Allah swt. Manusia harus mampu mengoptimalkan daya kerja akal untuk keberlangsungan hidupnya di alam dunia.

Isma’il Raji Al-Faruqi (1995: 67-68) mengatakan bahwa hanya manusia yang dapat merealisasi nilai etis, sebab hanya dia memiliki kemerdekaan yang diperlukan untuk itu; bahwa hanya dia yang dapat mengupayakan totalitas nilai karena hanya dia yang memiliki pikiran dan wawasan yang dibutuhkan oleh upaya tersebut. Ketika menciptakannya, Tuhan memberi kebijaksanaan, membuktikan dirinya (manusia) lebih unggul dibandingkan para malaikat, dan memerintahkannya untuk bersujud. Maka tidaklah mengherankan bahwa dalam Islam manusia dianggap sebagai puncak ciptaan, lebih tinggi dibandingkan para malaikat, persis dikarenakan kedudukan etis dan martabat yang unik.

Melalui bekal itulah (akal) manusia dapat mengetahui, memahami, menjalankan hubungan sosial, menghayati nilai-nilai dogmatik, mengolah alam, berinovasi, berkreasi, dan menjaga sekaligus merenungi seluruh ciptaan Allah swt. Ziauddin Sardar (2014: 437) mengungkapkan bahwa “akal merupakan jalan menuju penyelamatan. Akal bukanlah sesuatu yang harus Anda singkirkan untuk merengkuh dan memperkuat keimanan. Akal adalah sarana untuk menggapai tujuan, alat penemuan, dan perangkat untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan.”

Allah swt tidak semata-mata memberikan akal pikiran kepada manusia melainkan agar mereka senantiasa cinta, taat, dan meraih kaurnia-Nya. Banyak sikap dan perilaku untuk menunjukan kecintaan dan ketaatan kita pada Allah swt, misalnya dengan menjauhi segala larangannya dan menaati segala perintah-Nya. Adapun salah satu perintahnya adalah tentang bekerja keras dan larangannya menjauhi keputus-asaan. Maka, sebagai manusia yang cinta, taat, dan senantiasa mengharapkan karunia-Nya, kita haruslah mampu mengoptimalkan kerja akal sebagai salah satu modal dasar etos kerja.

Berbicara tentang akal sebagai salah satu modal dasar etos kerja, masyarakat Sunda adalah masyarakat yang sadar betul tentang pentingnya arti dan peranan akal bagi etos kerja. Hal itu dapat dibuktikan dari falsafah-falsafah hidupnya yang mengacu pada peranan akal sebagai bekal, anugerah, jalan, dan fitrah hidup manusia dari Allah swt pada pepatah manuk hiber ku jangjangna. Allah swt telah berfirman dalam surat Ali Imron ayat 190, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”

Jika kita perhatikan falsafah hidup masyarakat Sunda pada pepatah di atas sungguh begitu harmonis dengan firman Allh swt pada surat Ali Imron ayat 190. Masyarakat Sunda memiliki perspektif yang sama dengan apa yang dikatakan dalam al-qur’an. Titik temunya terdapat pada pemberdayaan akal sebagai jalan untuk meraih rahmat, karunia, dan kebesaran-kebesaran Allah swt.

Namun, pemberdayaan akal saja tampaknya belum cukup untuk meraih kesuksesan dan mencari karunia Allah jika tidak dilakukan secara tekun. Pandangan hidup masyarakat Sunda tentang ketekunan tergambar pada larik pupuh Wirangrong dan pepatah yang berbunyi cikaracak ninggang batu laon-laon jadi legok. Falsafah hidup masyarakat Sunda tentang ketekunan pun sejalan dengan firman Allah swt yang menghimbau agar umat manusia tidak mudah putus asa karena putus asa sama dengan kafir.

Firman Allah swt tentang ketekukan salah satunya terdapat pada surat Yusuf ayat 87, “… Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir.” Ahimsa Riyadi (2005: 121-123) mengatakan kata “kafir” merupakan derivasi dari kata “kafara” yang berarti menutupi atau menyelubungi. Jika dikatakan “kafara zaidun al-ghurfata”, berarti kata Zaid menutupi ruang. Mereka kafir karena merasa telah tertutup dari rahmat Allah, tidak mengetahui, tidak menyadari, dan tidak mengapresiasi (syukur) nikmat yang telah diberikan kepadanya. Seorang muslim yang berputus asa tidak otomatis menjadi seorag kafir (kafir di sini bukan dari sisi teologi atau keyakinan), tetapi salah satu sifat utama soerang kafir adalah selalu berputus asa, putus harapan, dan enggan berusaha lebih keras (dari rahmat Allah).

Jika kita hubungkan penjelasan Ahimsa Riyadi mengenai ketekukan dan falsafah hidup masyarakat Sunda yang terdapat pada puisi Ajip Rosidi yang berjudul “Hidup” tentang kausalitas maka kita akan menemukan korelasi yang nyata bahwa hasil tidak akan mendustakan proses karena janji Allah swt tidak akan mungkin meleset. Allah swt telah menjanjikan kepada umat manusia agar senantiasa berusaha demi mencapai apa yang diinginkan. Hal itu tampak pada firman Allah surat ar-Rad ayat 11, “… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. ….”

Perintah Allah swt kepada umat manusia dalam bekerja dan mencari karunia-Nya pun hadir pada surat al-Jumuah ayat 10, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” Jelas firman Allah swt tersebut menghimbau agar seorang muslim senantiasa tawakal dan ikhtiar. Ahimsa Riyadi (2005: 165-166) mengatakan shalat akan menjadi terapi yang menyejukkan bagi kekeringan jiwa. Shalat menjadi semacam alarm yang senantiasa mengingatkan manusia bahwa dirinya hanyalah sejentik makhluk yang lemah, yang kecil dan tak berdaya di hadapan Yang Mahakuasa. Tentu saja untuk mendapatkan nilai dan hasil yang demikian besar, seseorang harus bekerja keras dan melalui berbagai kesulitan.

Konsep yang ditawarkan Ahimsa Riyadi cukup menarik. Beliau memadukan ketawakalan dan keikhtiran yang harus dilakukan oleh manusia untuk meraih karunia Allah swt. Hal ini pun sejalan dengan falsafah hidup masyarakat Sunda yang tergambar dalam pupuh Asmarandana, … /darma wawayangan bae/, /raga taya pangawasa/, … dan pepatah Sunda yang berbunyi mun teu ngarah moal ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek.

Bekerja merupakan usaha lahir sedangkan shalat merupakan usaha batin. Jika bekerja menuntut pengoptimalan kerja akal, maka shalat mengharuskan usaha batin yang mantap. Ziauddin Sardar (2014: 438) mengatakan bahwa menurut al-qur’an, kita bernalar bukan hanya dengan pikiran melainkan juga dengan mendengarkan dan melihat. Pemahaman sejati dicapai ketika semua daya, termasuk hati, berperan.

Sebagai legitimasi penyataannya, selajutnya ia mengutip firman Allah swt surat Al-Araf ayat 179, orang yang “hatinya tidak digunakan untuk memahami, mata yang tidak digunakan untuk melihat, dan telinga yang tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.” Maka untuk memiliki etos kerja yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai al-quran, selain manusia harus mampu mengoptimalkan kerja akal dan ketekunannya, ia harus pula memiliki hati yang mantap dalam beribadah (bekerja) guna mengharap rido dan karunia Allah swt.

Hidup seseorang akan semakin utuh manakala ia mampu menyisihkan sebagian rizki yang ia peroleh secara halal untuk orang lain (yang membutuhkan) karena Islam mengajarkan kita untuk bekerja keras namun tidak melupakan lingkungan sekitar. Keberhasilan mewujudkan etos kerja sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt menjadi materi konkret (harta benda) belulmlah dipandang utuh manakala kita mengabaikan keadaan di sekeliling kita. Nabi Muhammad saw bersabda, “Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik akhlak budi pekertinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Said Agil Husin Al Munawar (2005: 50-51) mengatakan akhlak merupakan kontrol sekaligus penilaian terhadap kesempurnaan keimanan seseorang. Kesempurnaan keimanan dapat dinilai dari segi perilaku yang ditampilkan dalam hubungan vertikal kepada Allah swt dan hubungan horizontal kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Sejalan dengan falsafah hidup masyarakat Sunda yang berbunyi, bluk nyuuh blak nangkarak yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka sangat rajin dalam bekerja untuk menghidupi keluarga. Keluarga yang dimaksud bukan hanya keluarga yang memiliki hubungan darah semata, melainkan saudara dalam pengertian yang lebih luas lagi; sealam-dunia.


Penulis: Zaka Vikryan

Sumber asli: Etos Kerja Urang Sunda Menurut Perspektif Islam

Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Basri, Hasan. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Burdansyah, Cecep. 2002. Anak Jadah. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Husain Al Munawar, Said Agil. 2005. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline.
Rahayu Tamsyah, Budi. 1999. 1000 Babasan jeung Paribasa Sunda. Bandung: CV Pustaka Setia.
Raji Al-Faruqi, Ismail. 1995. Tahuid. Bandung: Penerbit Pustaka.
Riyadi, Ahimsa. 2005. Quranic Quotient for A Lasting Success. Depok: Pustaka IIMaN.
Rosidi, Ajip. 1993. Terkenang Topeng Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip. 2010. Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Saleh. 1985. Tuntunan Kepramukaan. Bandung: Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Kabupaten Daerah Tinggkat II Kuningan, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kuningan, Masa Karya Offset Bandung.
Sardar, Ziauddin. 2014. Ngaji Quran di Zaman Edan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Sulaeman. 2014. Filsafat Islam. Yogyakarta: Deepublish.
Komentar

Tampilkan

  • Etos Kerja Masyarakat Sunda dalam Perspektif Al-Qur’an
  • 0

Terkini