-->

Iklan

Falsafah Hidup Masyarakat Sunda

terasmudacianjur
Kamis, 06 September 2018, 14.19 WIB Last Updated 2024-06-21T14:34:20Z

Sebagai komunitas yang besar, masyarakat Sunda tentu memiliki falsafah hidup. Falsafah hidup suatu masyarakat biasanya terdapat dalam pepatah, tembang atau pupuh, karya sastra (puisi, prosa fiksi, dan drama), maupun dalam bentuk ritual kesenian lainnya. Pengemasan falsafah hidup dalam bentuk karya seni lebih mudah disebarluaskan kepada masyarakat dan cepat dalam proses penyeraannya.

Terdapat 17 pupuh yang beredar di masyarakat Sunda. Diantaranya adalah pupuh Maskumambang, Dandanggula, Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan lain-lain. Pupuh Asmarandana misalnya, /eling-eling mangka eling/, /rumingkang di bumi alam/, /darma wawayangan bae/, /raga taya pangawasa/, /lamun kasasar lampah/, /napsu nu matak kaduhung/,/badan nu katempuhan/.

Pupuh Asmarandana di atas menyampaikan pesan bahwa manusia hidup di dunia seperti wayang yang segala telah ditentukan oleh dalang (Tuhan). Manusia tidak mempunyai daya dan upaya. Hal ini tampak sejalan dengan apa yang dihayati oleh salah satu aliran ilmu kalam, yakni aliran Jabariyah. Aliran Jabariyah lahir di tanah Khurasan Persia dan pemimpin pertamanya adalah Jaham bin Sofyan. Sulaeman (2014: 151) mengatakan “Kaum Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.”

Selanjutnya, falsafah hidup masyarakat Sunda tergambar pada sebuah pepatah atau paribasa (peribahasa) yakni hirup dinuhun paeh dirampes dan dihin pinasti anyar pinanggih. Ajip Rosidi (2010: 42-43) menerjemahkannya hidup syukur mati pun baik dan nasib sudah dipastikan sejak awal, namun baru sekarang dialami.

Ajip Rosidi menjelaskan bahwa pepatah yang pertama maksudnya adalah orang yang sudah pasrah, menyerahkan hidup ataupun matinya kepada yang mahakuasa. Sedangkan pepatah yang kedua maksudnya adalah tidak lagi mempunyai keinginan. Kepercayaan akan adanya takdir yang sudah ditetapkan sejak awal walaupun baru kemudian dialami.

Pepatah-pepatah di atas terasa semakin memperkuat bahwa falsafah hidup masyarakat Sunda nyaris sama dengan apa yang dijadikan landasan pemikiran oleh aliran Jabariyah. Sulaeman (2014: 152) mengatakan “Kaum Jabariyah berpendapat, … Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah, dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. ….”

Namun, kiranya kita harus mendefinisikan ulang falsafah-falsafah yang tersirat dalam pepatah dan pupuh di atas. Pendefinisian ulang ini dilakukan karena nilai yang tercantum di atas belumlah pantas mewakili keseluruhan falsafah hidup masyarakat Sunda. Sunda tidak hanya hidup oleh satu atau dua pepatah saja. Di luar apa yang telah dikemukakan di atas, masih banyak falsafah-falsafah hidup masyarakat Sunda yang justru maknanya berbanding terbalik dengan konsep tumarima. Artinya, kita akan menemukan pola pandang berbeda tentang masyarakat Sunda dalam pepatah atau pupuh yang lainnya.

Selain itu, pendefinisian ulang dan perbandingan dengan falsafah hidup masyarakat Sunda yang lainnya dilakukan sebagai bentuk analisa yang lebih dalam lagi mengenai falsafah hidup masyarakat Sunda. Penulis merasa ragu bahwa masyrakat Sunda hanya memiliki dan menghayati konsep kepasrahan saja dalam kehidupannya. Keraguan semakin bertambah manakala mengingat bahwa hakekat manusia hidup bukan sekadar tawakal, melainkan ada ikhtiar juga yang harus diperjuangkan.

Masyarakat Sunda pun memiliki falsafah hidup tentang etos kerja. Hal itu tergambar pada pupuh Wirangrong /barudak mangka ngalarti/, /ulah rek kadalon-dalon/, /enggong-enggong nungtut elmu/, /mangka getol mangka tigin/, /pibekeleun sarerea/, /modal bakti ka nagara/. Pupuh Wirangrong menyampaikan pesan bahwa manusia harus senantiasa tekun dan semangat dalam menuntut ilmu untuk bekal bakti pada negara.

Melalui pupuh Wirangrong tersebut, penulis meyakini bahwa masyarakat Sunda pun sadar akan pentingnya usaha untuk menuntut ilmu pengetahuan. Kehidupan sebuah negara akan maju jika masyarakatnya memiliki daya intelektualitas yang tinggi. Jika seseorang memiliki intelektualitas yang tinggi maka ia akan produktif, memiliki inovasi, dan kreativitas untuk memajukan tanah airnya.

Pepatah Sunda yang isinya tentang usaha, kerja, atau pun ikhtiar adalah manuk hiber ku jangjangna. Ajip Rosidi (2010: 41) menerjemahkannya burung terbang memakai sayapnya. Artinya makhluk harus hidup dengan kodratnya. Burung mencari makan dengan sayapnya, manusia dengan akalnya.

Peniscayaan terhadap proses dapat kita rasakan lagi dihayati oleh masyarakat Sunda dalam pepatah cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok. Makna yang terkandung dalam pepatah tersbut adalah betapa pun sulitnya suatu perkara jika dilakukan secara terus-menerus maka akan berhasil juga. Sama halnya dengan pepatah Indonesia yang berbunyi rajin pangkal pandai. Maka, jika ingin meraih atau memiliki suatu kepandaian kita harus rajin dalam belajar sesulit apa pun harus terus dihadapi.

Anggapan tentang pentingnya suatu keikhtiaran dalam hidup bagi masyarakat Sunda kembali terasa pada pepatah mun teu ngarah moal ngarih, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek. Ajip Rosidi (2010: 42) menerjemahkannya kalau tidak berusaha takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan akal takkan mungkin menanak nasi, kalau tidak bekerja takkan mungkin bisa makan. Pepatah ini semakin mempertegas falsafah hidup masyarakat Sunda yang meniscayakan proses (usaha, kerja keras).

Kita pun dapat menemukan sebuah falsafah hidup dalam karya sastra. Falsafah hidup masyarakat Sunda dapat kita peroleh dari puisinya Ajip Rosidi (1993: 224) yang berjudul Hidup (antologi puisi Terkenang Topeng Cirebon). Puisi tersebut terdiri dari empat larik, /Demi hidup yang kujunjung/, /Demi laut yang kulayari/, /Demi kau yang selalu membisu/, /Hidup hari ini ladang hari nanti/.

Di dalam puisi itu, penulis menemukan makna sebuah proses dan perjalanan sekaligus tentang ketauhidan seorang manusia kepada Tuhannya. Di larik terakhir, /Hidup hari ini ladang hari nanti/ artinya apa yang manusia lakukan hari ini merupakan bekal bagi kehidupannya kelak. Jadi, puisi itu mengajarkan bahwa jika kelak ingin meraih kesuksesan dalam hidup maka harus direncanakan dan berproses dari mulai sekarang. Contoh sederhana lainnya ialah, jika ingin meraih nilai yang tinggi di akhir semester maka seorang siswa harus rajin belajar. Puisi Ajip Rosidi yang berjudul “Hidup” memberi tahu kepada kita bahwa adanya hubungan kausalitas mengenai segala sesuatu.

Dalam bentuk karya sastra lainnya, yaitu antologi carpon (cerpen, cerita pendek) Anak Jadah karya Cecep Burdansyah (2002: 39) yang berjudul Ladang Sakola pun terdapat amanat tentang betapa pentingnya suatu persiapan dan kerja keras. Berikut ini adalah penggalan paragraf pertama dalam cerpen Anak Jadah karya Cecep Burdansyah, /… da cenah mun teu dagang, hartina moal dahar/. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka /… katanya kalau tidak berdagang, artinya tidak akan makan./ Maksudnya bahwa hidup sebagai manusia jika ingin makan harus bekerja terlebih dahulu.

Cerita pendek yang berjudul Ladang Sakola pun mengisahkan tentang pentingnya mempersiapkan hidup sejahtera sejak dini. Melalui tokohnya yang bernama Suwinta, Cecep Burdansyah (2002: 41) menggambarkan hal tersebut, /”Ku hiji ku dua, nya urang teh banget ku butuh nya asa diunghak deuih. Marukana gampang Akang boga tanah sakitu teh, kapan sidik si ontohod ge nyaho yen tanah eta teh sasat beunang ngaduakeun huap, belaan modal dagang dipeureut, peujit kukurubukan oba dianteup bakating ku hayang ulah ngandelkeun teuing tina dagang cendol,” Suwinta neuteuli./ Dialog tokoh Suwinta memberi tahu pembaca bahwa bukanlah perkara mudah untuk memiliki sebidang tanah. Tokoh Suwinta bercerita bahwa untuk memiliki sebidang tanah ia harus menyisihkan uang makan dan modal berdagang. Perut lapar pun tidak ia hiraukan demi memiliki sebidang tanah sebagai sumber pendapatannya yang lain selain berdagang cendol.

Begitu banyak falsafah hidup masyarakat Sunda yang tersirat dalam berbagai bentuk karya seni. Di awal, penulis memang menemukan beberapa falsafah hidup masyarakat Sunda yang tumarima. Namun, dengan adanya falsafah-falsafah hidup masyarakat Sunda yang penuh dengan semangat kerja, usaha, atau ikhtiar maka penulis menyakini bahwa masyarakat Sunda tidaklah muktlak dan benar jika dinilai memiliki pandangan hidup yang pasrah tanpa usaha seperti halnya aliran Jabariyah.

Masyarakat Sunda justru memiliki falsafah hidup tentang suatu keikhtiaran yang tinggi dengan tidak mengenyampingkan kehadiran kuasa Tuhan sebagai sumber dari segala sumber. Jika dilihat dari falsafah-falsafah hidupnya, masyarakat Sunda adalah masyarakat yang giat bekerja dan giat pula dalam menjunjung nilai-nilai religiusitas. Perpaduan yang baik dan lengkap untuk menhadapi tantangan hidup di zaman ini; krisis ekonomi dan akhlak.

Penulis: Zaka Vikryan

Sumber asli: ETOS KERJA URANG SUNDA MENURUT AL-QUR'AN
Komentar

Tampilkan

  • Falsafah Hidup Masyarakat Sunda
  • 0

Terkini