October 10, 2014 by Rully Cahyono 84 Comments
Saya sudah lama ingin menulis soal ini. Tetapi belum menemukan cara yang baik supaya bisa ditulis in a delicate way. Tetapi terlalu lama dipikir malah bikin tidak jadi terus untuk ditulis. Oleh karena itu, coba ditulis sekarang. Sebelumnya saya mohon maaf jika ada pembaca yang tersinggung. Tulisan ini murni adalah pendapat saya. Isi tulisan ini juga tidak menggeneralisasi. Oleh karena itu, ketika saya bilang orang Jawa, tidak semua orang Jawa seperti itu, vice verse.
Ketika saya berangkat ke Bandung di tahun 2004 untuk mulai kuliah, banyak yang bilang ke saya dengan inti pesan, “nanti kalau di Bandung jangan dapat perempuan Sunda ya”. Waktu itu saya masih (agak) polos, karena itu saya iyakan saja. Sewaktu sudah di Bandung dan bertemu teman-teman kuliah, ternyata banyak teman lain dari Jawa yang juga dipesani hal yang sama oleh keluarganya. Bahkan pesan yang sama juga didapatkan teman saya dari Jakarta yang berlatarbelakang keluarga Jawa.
Delapan tahun kemudian, saya menikah. Istri saya orang Sunda asli. Lahir dan besar di Bandung. Keluarganya juga asal-usulnya dari Bandung. Tentu sempat ada sedikit pertentangan dari keluarga saya ketika kami hendak menikah. Kekhawatiran terhadap citra negatif perempuan Sunda rupanya cukup besar. Tetapi alhamdulillah, keluarga saya masih cukup moderat. Kami pun menikah dan sampai sekarang tidak ada masalah apa-apa.
Sebetulnya, apa sih stigma negatif orang Jawa terhadap perempuan Sunda itu? Coba saya paparkan komparasinya berdasarkan pengamatan saya ya
Menurut orang Jawa, perempuan Sunda itu biasanya …
- Materialistis
- Sukanya dandan (Jawa: macak) dan malas (Jawa: aras-arasen) mengerjakan pekerjaan rumah tangga
- Tidak berbakti ke mertua
- Tidak mau diajak suami hidup susah
dsb yang jelek-jelek
Menurut orang Sunda, perempuan Jawa itu biasanya …
Baik-baik saja
Kontras ya perbandingannya, hehehe. Dari sini bisa sedikit disimpulkan kalau (sebagian) orang Jawa mempunyai beberapa cap negatif ke perempuan Sunda. Sebaliknya, (sebagian) orang Sunda menganggap perempuan Jawa baik-baik saja, bahkan cenderung mereka tidak mempunyai komentar apa-apa. Memang, rata-rata orang Sunda santai-santai saja ke orang Jawa.
Pertanyaannya, apakah stigma negatif tersebut benar? Sebelum ke Belanda, saya delapan tahun tinggal di Bandung (2004-2012), berinteraksi dengan lingkungan Sunda, punya teman-teman orang Sunda, menikah dengan orang Sunda, dan otomatis ada di lingkungan sebuah keluarga besar Sunda. Menurut saya, jawabannya sangat relatif. Semua itu kembali ke pribadi dan pendidikan masing-masing. Oke, mari kita kupas satu per satu.
Materialistis. Menurut saya ini stigma negatif paling terkenal yang dilekatkan ke perempuan Sunda. Waktu hendak menikah dengan Intan, saya ditanya Ibu apakah dia rajin sholat, bagaimana ibadahnya, dsb. Saya memberi jawaban yang afirmatif. Setelahnya, Ibu saya nyeletuk, “tapi ora matre kan, Le?“, “tapi tidak matre kan, Nak?”. Entah kenapa materialistis ini lekat dengan perempuan Sunda saya juga bingung, hehe. Saudara-saudara, perempuan Sunda itu tidak matre. Hanya, mereka itu lebih terbuka cara berbicaranya daripada perempuan Jawa. Misal soal ingin beli mobil. Paling tidak di keluarga mertua saya, para perempuan akan terus-terang jika ingin punya mobil. Di keluarga saya, seperti umumnya orang Jawa, lebih implisit. Muter-muter dulu ngomongnya, tetapi intinya ya sama, ingin beli mobil. Sama saja toh. Apakah salah perempuan ingin beli mobil? Ya tidak. Manusiawi, siapa yang ingin untuk seumur hidupnya kepanasan dan kehujanan naik motor? Tetapi, apakah kalau perempuan Sunda tidak dibelikan mobil lantas marah? Ya tidak. Kalau suaminya memang belum mampu untuk membelikan mobil, mereka akan ikhlas menerima. Sama saja dengan orang Jawa kan. Jadi, dimananya yang matre?
Suka dandan dan malas. Perempuan Sunda memang terkenal cantik dan mulus. Apakah stigma ini bentuk kecemburuan dari orang Jawa? hehe. Dalam hal dandan, sama saja menurut saja. Fitrahnya perempuan memang berdandan. Bagus malah, biar terlihat cantik. Ada pepatah Jawa, “ajining rogo soko busono“, “wibawa seseorang itu dari pakaiannya”. Memang ada perbedaan gaya. Misal dalam kondangan. Perempuan Jawa cenderung akan memakai satu atau dua perhiasannya saja, meskipun dia punya banyak perhiasan. Sebaliknya orang Sunda, cenderung memakai banyak sekali perhiasannya. Dalam hal ini saya juga tidak setuju dan saya melarang istri untuk memakai banyak-banyak perhiasan. Tetapi, secara prinsip, apa salahnya memakai perhiasan milik sendiri? Asal tidak jadi saling iri. Kemudian soal malas melakukan pekerjaan rumah tangga. Wah, saya benar-benar tidak tahu cap ini muncul dari mana. Mertua saya, anaknya empat, rumah beserta pekarangan lebih dari 500 m2, semua diurus sendiri tanpa pembantu. Kalau ada acara hajatan keluarga besar, para perempuan juga turun tangan di dapur. Begitu pula dulu di dekat kosan saya, kalau ada acara juga para perempuan sibuk bekerja. Jadi, apa betul itu suka dandan dan malas?
Tidak berbakti ke mertua. Saya juga tidak mengerti isu ini datang dari mana. Intan dan teman-teman saya yang orang Sunda baik-baik saja ke mertuanya. Semua sangat tergantung pribadi masing-masing. Kalau mertuanya sudah keburu punya cap negatif ke menantunya, wajar kalau menantu tersebut jadi menjaga jarak. Mungkin ada beberapa kekhawatiran bahwa kalau menikah dengan perempuan Sunda, si suami jadi tidak bisa memberikan sebagian penghasilannya ke ibunya. Terkait hal ini, setelah menikah, Ibu saya memanggil saya dan Intan dan menasehati kami berdua. Beliau bilang bahwa semua harus terbuka. Contoh, kalau saya hendak memberikan uang ke Ibu saya, mau besar atau kecil, itu harus atas sepengetahuan istri saya, sama sekali tidak boleh sembunyi-sembunyi. Ibu saya tidak mau menerima uang anaknya sendiri tanpa persetujuan menantunya. Saya pun melakukan itu. Istri saya selalu bisa menerima. Bahkan, sewaktu kami masih berpisah Belanda-Indonesia, Intan selalu memberikan sebagian gajinya ke Ibu saya setiap bulan, tanpa saya anjurkan. Saya betul-betul kagum atas hal itu. Semua itu kembali ke bagaimana seorang suami mendidik dan memberikan pengertian ke istrinya. Jadi, apa benar bahwa perempuan Sunda tidak berbakti ke mertua?
Tidak mau diajak suami hidup susah. Saya terus terang geli dengan stigma yang satu ini, hehehe. Plis deh, perempuan mana sih yang mau hidup susah? Bukankah sangat manusiawi bahwa setiap istri ingin hidup makmur? Kembali ke soal gaya. Perempuan Sunda akan bilang terus terang kalau dia ingin hidup makmur. Apakah itu salah? Tentu tidak. Menjadi kewajiban suami untuk bekerja keras sehingga keluarganya tercukupi, tentu dengan cara yang halal. Tetapi kalau sudah berusaha tetap tidak kaya-kaya juga, apakah istri akan meninggalkan suami? Tidak kok kalau yang saya amati. Ibu mertua saya punya tiga adik perempuan. Mereka dari keluarga yang sangat berkecukupan. Ketiga bibi saya itu, menikah dengan para pria dengan asal-usul yang sangat sederhana. (Alm) kakek dan nenek mertua dengan ikhlas menerima pernikahan itu. Mereka semua memulai dari sangat bawah, dan tidak pernah meninggalkan suaminya di saat masih susah, termasuk saat beras juga masih harus dikirim dari (alm) kakek dan nenek mertua. Sekarang mereka semua sudah makmur. Kemudian ada contoh sejarah dari Ibu Inggit Garnasih, perempuan Sunda asli dari Banjaran. Beliau belasan tahun jadi istri Bung Karno dalam kondisi amat sulit secara ekonomi. Bahkan Ibu Inggit harus menjual banyak barangnya untuk mendukung karir politik suaminya. Namun, beliau setianya sangat luar biasa ke suaminya. Jadi, apa betul tidak mau diajak suami hidup susah?
Jadi, apakah benar stigma negatif yang kita lekatkan ke para perempuan Sunda? Tentu tidak, kita tidak bisa memukul rata. Sangat tergantung kondisi masing-masing. Kalau mau jujur, perempuan Jawa juga banyak kok yang mempunyai sifat-sifat jelek tersebut. Bahkan kalau mau berpikir lebih jauh, belum tentu orang-orang Jawa yang memberi stigma negatif itu pernah berinteraksi secara intens dengan para perempuan Sunda? Kalau betul seperti itu, bukankah itu namanya prasangka (prejudice) tanpa terlebih dulu ada bukti yang jelas? Terus terang saya dulu juga sempat terpengaruh dengan stigma negatif perempuan Sunda. Tetapi saya jadi ingat perkataan Pramoedya Ananta Toer, “seorang yang terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Ingatlah, prasangka itu adalah salah satu bentuk ketidakadilan di alam pikiran kita. Lambat laun pun saya tidak menerima mentah-mentah stigma itu. Saya lihat, pelajari, dan buktikan. Insha Allah saya yakin bahwa stigma negatif itu tidak bisa kita generalisasi untuk seluruh perempuan Sunda. Saya tahu ada sejarah kelam antara Sunda (Pajajaran) dan Jawa (Majapahit). Tetapi sudahlah, perlukah kita masih mempermasalahkannya?
Sebagai penutup, saya jadi ingat waktu Ibu saya datang ke rumah Intan dan bertemu dengan neneknya Intan yang biasanya kami panggil Mah Enin. Ibu saya, orang kampung dengan asal usul yang sangat sederhana, bilang ke Mah Enin, “Saya ini malu, saya ini orang tidak punya, tidak pantas besanan dengan orang kaya”. Mah Enin pun menjawab, “Eh, jangan gitu, kaya miskin itu tidak penting, di hadapan Allah semua sama”. Saya kagum dengan jawaban Mah Enin waktu itu, mencerminkan kebijaksanaan dan kelapangan hati beliau. Kalau disambungkan, Rasullah pada saat menaklukkan Mekkah pernah bersabda ke para bangsawan Quraish yang sebelumnya gengsi akan kedudukan dan hartanya amat tinggi. Begini sabdanya:
Kullukum min Adam – kamu semua berasal dari Adam
Wa Adam min turab – dan Adam dari tanah
Apakah kita masih perlu merasa bahwa suku A lebih lebih jelek dari suku kita? Apakah kita perlu merasa lebih baik dari mereka? Bukankah semua di hadapan Tuhan adalah sama? Islam mengajarkan bahwa kriteria terbesar memilih istri adalah taqwa dan ibadahnya, bukan asal-usul golongannya. Jadi, mulai sekarang, mari kita hilangkan stigma negatif itu
Sumber: https://rullytricahyono.com/