-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Alun-Alun: Sejarah, Fungsi, dan Transformasi

Rabu, 03 Juli 2024 | 12.11 WIB | 0 Views Last Updated 2024-07-03T05:11:25Z

Pengertian Alun-Alun


Alun-alun, yang dulunya ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon dan sering keliru sebagai alon-alon, adalah lapangan terbuka luas yang berumput, dikelilingi oleh jalan, dan digunakan untuk berbagai kegiatan masyarakat. Menurut Van Romondt, alun-alun pada dasarnya adalah halaman depan rumah, namun dalam skala yang lebih besar. Penguasa seperti raja, bupati, wedana, camat, bahkan kepala desa memiliki halaman luas di depan istana atau pendopo kediamannya, yang berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari termasuk pemerintahan, militer, perdagangan, kerajinan, dan pendidikan.


Sejarah dan Fungsi Awal


Pada awalnya, alun-alun adalah tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara, dan penyampaian titah raja kepada rakyat. Alun-alun juga menjadi pusat perdagangan dan hiburan rakyat, seperti rampokan macan, di mana seekor harimau dilepaskan dan dikelilingi oleh prajurit bersenjata. 


Perkembangan Sejarah


- Zaman Hindu-Budha: Alun-alun sudah ada sejak zaman Hindu-Budha. Dalam Buku Negara Kertagama, disebutkan bahwa di Trowulan terdapat alun-alun. Keberadaan alun-alun berasal dari kepercayaan masyarakat tani yang harus membuat upacara meminta izin kepada "dewi tanah" sebelum menggunakan tanah untuk bercocok tanam. Mereka membuat lapangan "tanah sakral" berbentuk persegi empat yang kemudian dikenal sebagai alun-alun.

  

- Masa Kerajaan Mataram: Pada masa ini, alun-alun di depan istana digunakan sebagai tempat rakyat Mataram "seba" menghadap penguasa. Alun-alun berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya, di mana masyarakat berdatangan untuk memenuhi panggilan, mendengarkan pengumuman, atau melihat unjuk kekuatan prajurit. Alun-alun pada masa ini hanya berupa hamparan lapangan rumput untuk memungkinkan berbagai aktivitas.


- Masa Masuknya Islam: Masjid dibangun di sekitar alun-alun dan digunakan untuk kegiatan keagamaan seperti Salat Idul Fitri. Alun-alun juga menjadi ruang terbuka perluasan halaman masjid untuk menampung luapan jamaah dan merupakan halaman depan dari keraton.


- Periode Kekuasaan Belanda: Pemerintah kolonial Belanda mendirikan bangunan penjara di sisi lain alun-alun, seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Ini mengurangi fungsi simbolis alun-alun dan kewibawaan penguasa setempat.


Fungsi dan Filosofi Alun-Alun


Jo Santoso dalam bukunya "Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa" menjelaskan beberapa aspek penting alun-alun:


1. Melambangkan sistem kekuasaan atas suatu wilayah dan tujuan harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos).

2. Tempat perayaan ritual atau keagamaan.

3. Tempat menunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan instrumen kekuasaan dalam mempraktikkan kekuasaan sakral penguasa.


Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat, dan lain-lain. Namun, B. Herry Priyono dalam bukunya "Republik Tanpa Ruang Publik" memperingatkan bahwa ketika ruang publik menjadi komoditas komersial, maka pemaknaan masyarakat sebagai konsumen belaka akan menggantikan pemaknaan masyarakat sebagai makhluk sosial.


Transformasi Alun-Alun


- Zaman Pra-Kolonialis: Menurut Handinoto, staf pengajar Universitas Kristen Petra, keberadaan alun-alun sudah ada pada zaman Majapahit dan Mataram. Pada zaman Majapahit, alun-alun memiliki fungsi sakral untuk upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan, serta fungsi profan untuk pesta rakyat dan perayaan tahunan. Pola ini dilanjutkan pada pemerintahan Mataram dengan dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul.


- Zaman Kolonialis: Pada masa kolonial, alun-alun menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Belanda yang menggunakan pejabat pribumi seperti bupati untuk berhubungan langsung dengan rakyat. Rumah bupati selalu dibangun untuk menjadi miniatur Keraton di Surakarta dan Yogyakarta, dengan pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun.


- Zaman Pasca Kolonialis: Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun pasca kolonialisme. Pada awal abad ke-20, terjadi 'westernisasi' kota-kota di Nusantara yang mengakibatkan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk olahraga, taman kota, atau bahkan tidak jelas fungsinya karena pusat kota sudah bergeser.


Filosofi Alun-Alun


Suwardjoko P Warpani dari SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota menulis bahwa alun-alun adalah bentuk ruang terbuka kota yang menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Kehadiran alun-alun tidak lepas dari makna sakral dan profan. Khairudin H. dalam bukunya "Filsafat Kota Yogyakarta" menjelaskan bahwa alun-alun utara menggambarkan suasana tanpa tepi, suasana hati dalam semadi, dan luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat. Alun-alun menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos.


Alun-Alun Kabupaten Cianjur


Alun-alun Cianjur dibangun pada tahun 1919 oleh Wedana Raden Adipati Aria Soerjoatmodjo sebagai tempat upacara peringatan kemerdekaan. Seiring berjalannya waktu, alun-alun Cianjur menjadi pusat kegiatan sosial dan kebudayaan. Terletak di jantung kota, Alun-alun Cianjur mudah diakses dan dikenali, dengan gerbang tinggi berwarna kuning keemasan sebagai simbol kemegahan. Alun-alun ini berada dalam satu kesatuan dengan Masjid Agung Cianjur dan Pendopo Kabupaten Cianjur.


Kawasan alun-alun Cianjur digunakan untuk kegiatan umum termasuk Sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Alun-alun Cianjur diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 8 Februari 2019 dan kini menjadi ikon Cianjur serta tujuan wisata. Alun-alun ini memiliki hamparan rumput sintetis, kolam, air mancur, Menara Pandang, dan panggung dengan tribun melingkar. 


Sebelum diresmikan, alun-alun ini adalah Pasar Induk Cianjur yang menjadi pusat perekonomian dan nadi kehidupan Cianjur. Namun, pasar tersebut dipindahkan ke lokasi baru di dekat Terminal Pasir Hayam. Kini, Alun-alun Cianjur menjadi primadona dan banyak dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun dari luar kota.


Kesimpulan


Alun-alun adalah simbol kekuasaan, pusat kegiatan sosial dan budaya, serta ruang publik yang dinamis. Transformasi alun-alun mencerminkan perubahan sosial, budaya, dan politik yang terjadi di Indonesia. Keberadaan alun-alun tetap penting sebagai ruang publik yang dapat memperkuat interaksi sosial dan nilai-nilai budaya masyarakat.

×
Berita Terbaru Update