Rajamandala adalah nama tempat yang tidak asing lagi, khususnya bagi yang biasa melintasi jalan raya Bandung – Cianjur, ke arah Cianjur atau ke arah Bandung pasti akan melintas sebuah pasar tumpah dan adanya mesjid jami yang sudah berdiri sejak lama bila menemukan dua tempat tersebut sudah dipastikan tiba di Rajamandala. Namun kendati begitu sejarah Rajamandala hingga kini tidak banyak orang yang tahu. Penulis pernah bertanya kepada warga disekitar masjid besar Rajamandala yang masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat itu tentang sejarah nama Rajamandala namun tidak seorangpun yang mengetahu sejarah Rajamandala.
Dalam naskah Wangsakerta 1677 yang dipopulerkan Yoseph Iskandar menunjukkan bahwa Rajamandala adalah salah satu julukan bagi Prabu Purnawarman Raja Tarumanagara (317- 356 M) selain julukan Sang Hyang Tapak. Alasan penamaan Purnawarman disebut Rajamandala tidak dijelaskan.
Namun bila mengacu kepada agama Sunda Wiwitan, yang disebut Mandala adalah surga seperti pemahaman dalam agama Islam atau Firdaus. Mandala dalam agama Sunda terbagi dalam beberapa tingkatan, yang paling tinggi adalah Mandala Agung.
Sedangkan dalam Wawacan Jampang Manggung, Rajamandala adalah sebutan dari masyarakat kerajaan Jampang Manggung untuk Prabu Janglar Birawangsa. Dikisahkan, selama memerintah Janglar Birawangsa atau Rahyang Baduga selalu mengutamakan kemakmuran rakyat, dan dalam beribadah ia adalah pendeta dengan tingkatan tinggi Ing Payagung. Maka wajar saja seluruh warga Jampang Manggung hidup dengan rukun dan damai, kesejahteraannya dijamin negara.
Oleh karena itulah rakyat Jampang Manggung menyebutnya Rajamandala, yang artinya raja surga yang memberikan kemakmuran bagi rakyat. Seperti halnya Purnawarman, penamaan Rajamandala bagi keduanya belum diketahui hubungannya dengan agama Sunda Wiwitan yang merupakan agama leluhur suku Sunda.
Prabu Rajamandala nikah dengan Nyai Walini cucu Adipati Cagenang yang juga masih keturunan Patih Gajah Panambur. Dari pernikahan ini Janglar Birawangsa berharap bersatunya kembali ikatan darah raja Jampang Manggung. Dari pernikahan ini lahirlah Jaka Toe yang setelah dinobatkan sebagai raja Jampang Manggung menggantikan ayahnya disebut juga Prabu Jaka Baleno.
Setelah turun tahta, Janglar Birawangsa menekuni hidup sebagai pertapa, dalam perjalanan tapanya ia pernah singgah dan bertapa di beberapa tempat sesuai petunjuk yang diterimanya yakni : Citarum Leutik, suku gunung Agung (Gunung Gede Cianjur), Batu Ubur-ubur Cijampang, Walahar, Kumba-kumba dan Nyangkoek.
Kampung Nyangkoek kini dinamai kampung Baduga yang berada dalam wilayah Desa Ciandam Kecamatan Mande Cianjur. Di Kampung Nyangkoek inilah Rajamandala wafat dan dikebumikan, namun kini Rajamandala oleh masyarakat dikenal dengan nama Embah Hakekat dan dianggap sebagai wali penyebar agama Islam.
Sumber:
Cianjur dari Masa ke Masa ( Fakta Sejarah dan Cerita Rakyat ) | Yayasan Dalem Aria Cikondang Cianjur. 2020
Penyusun:
R. Luki Muharam, SST
Editor :
R. Pepet Djohar
Dr. Dadang Ahmad Fajar,
M.Ag Memet Muhammad Thohir