Dalam sejarah raja raja Sunda, sedikitnya ada dua orang raja yang mendapat julukan Sang Hyang Tapak. Maharaja Purnawarman Raja Tarumanagara (395-434 M) mendapat julukan Sang Hyang Tapak karena dalam prasasti yang dibuatnya selalu membuat dua tapak kaki, sebagai perwujudan tapak kaki Dewa Wisnu. Batu prasasti yang dibuat Purnawarman diantaranya prasasti Tugu yang diketemukan di kampung Batutumbu, Bekasi. Jawa Barat. Sekarang prasasti ini disimpan di museum Nasional Jakarta.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi.
Kemudian Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba- laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman, dll.
Selain Prabu Purnawarman, Raja Sunda Prabu Detya Maharaja atau Sri Jayabhupati juga dikenal sebagai Sang Hyang Tapak. Raja Sunda ke 20 yang memerintah tahun 1030-1042 M ini membuat prasasti kuno perangka tahun 952 saka (1030 M), terdiri dari 40 baris yang memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Keempat batu prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga diantaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan. Prasasti ini ditulis dalam huruf Kawi Jawa. Kini keempat batu prasasti ini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Sedangkan di Cianjur yang dimaksud Batu Sanghyang Tapak adalah tapak kaki manusia yang berada dipuncak gunung Manangel tidak jauh dari pusat kota Cianjur. Wawacan Jampang Manggung menyebutkan bahwa tapak kaki itu merupakan peninggalan Ing Payagung Laganastasoma atau Resi Pananggelan putra Prabu Pitakumanajaya raja Jampang Manggung. Hingga kini makam Laganastasoma tidak diketahui keberadaannya, tidak jauh dari tapak kaki dibawahnya terdapat tiga makam kuno, yang dipercaya sebagai makam ketiga istri Laganastasoma yakni, Dewi Candrawulan, Dewi Niskalawati dan makam Lu Miang Tin istri Laganastasoma dari Cina.
Seperti uraian diatas, Resi Pananggelan atau Rahyang Laganastasoma adalah pendeta yang juga ahli pengobatan. Ia ditemani Dewi Candrawulan istrinya mengelola pasanggrahan yang banyak dikunjungi tamu dengan berbagai keperluan. Dewi Candrawulan kemudian wafat, oleh Jema saudagar kaya yang pernah menolong Laganastasoma, Resi Pananggelan dijodohkan dengan Dewi Niskalawati dari negeri Purwa. Dari pernikahan ini tidak memiliki keturunan.
Nama besar Pananggelan sebagai ahli pengobatan membuatnya mendapat undangan dari raja Cina sebagai Litagung atau narasumber masalah ketabiban. Seusai acara tersebut banyak peserta yang datang ke pesanggrahan Resi Pananggelan di dekat gunung Mananggel untuk berguru. Salah satu peserta yang datang adalah seorang tabib cantik asal Cina yaitu Lu Miang Tin yang kemudia dinikahi Laganastasoma. Dari pernikahan ini lahir dua orang putra yakni Rahyang Indra Prakarsa dan Dewi Injil Sari.