Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, yang lebih dikenal sebagai Harry Roesli, adalah salah satu tokoh besar dalam dunia musik dan teater Indonesia. Lahir pada 10 September 1951, Harry dikenal sebagai sosok yang tidak hanya menciptakan karya seni tetapi juga menginspirasi perubahan sosial melalui musiknya yang komunikatif dan kritis. Dengan penampilannya yang khas—berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong, dan berpakaian serba hitam—Harry Roesli menjadi ikon yang sulit dilupakan dalam sejarah budaya Indonesia.
Perjalanan Karier
Harry memulai kariernya di awal 1970-an dan langsung menarik perhatian melalui kelompok musik Gang of Harry Roesli yang ia bentuk bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A Rachman. Kelompok ini menggabungkan berbagai genre musik dengan pesan-pesan sosial yang tajam. Meskipun hanya bertahan lima tahun (1971-1975), kelompok ini meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah musik Indonesia.
Selain aktif di dunia musik, Harry juga mendirikan kelompok teater Ken Arok pada tahun 1973. Melalui teater ini, ia memperkenalkan bentuk seni yang unik, yaitu musik teater lenong, yang memadukan elemen tradisional dengan kritik sosial kontemporer. Salah satu pementasan yang terkenal adalah "Opera Ken Arok," yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Agustus 1975.
Pada tahun 1977, Harry mendapatkan beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM) untuk melanjutkan studinya di Rotterdam Conservatorium, Belanda. Di sana, ia mendalami musik elektronik dan tetap aktif bermusik, termasuk bermain piano di restoran-restoran Indonesia dan membentuk band dengan anak-anak keturunan Ambon. Keterlibatannya dalam dunia musik di Belanda tidak hanya memperkaya kemampuan artistiknya tetapi juga memperluas wawasan internasionalnya.
Setelah menyelesaikan studinya dan meraih gelar Doktor Musik pada tahun 1981, Harry kembali ke Indonesia dan melanjutkan karya-karyanya. Ia juga aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Pasundan di Bandung, di mana ia menyebarkan pengetahuannya kepada generasi muda.
Aktivisme dan Dedikasi Sosial
Selain menjadi musisi dan pengajar, Harry Roesli juga dikenal karena dedikasinya terhadap kaum marjinal, terutama seniman jalanan dan pemulung. Melalui Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB), yang ia dirikan, Harry menyediakan ruang bagi para seniman jalanan untuk berkarya dan mengembangkan potensi mereka. Markas DKSB di rumahnya di Jl. WR Supratman 57 Bandung menjadi pusat aktivitas seni dan diskusi yang seringkali memunculkan kritik sosial dan karya-karya yang menantang status quo.
Pada masa reformasi, rumah Harry menjadi pusat kegiatan relawan Suara Ibu Peduli di Bandung, sebuah gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan keadilan sosial. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry juga terlibat dalam berbagai kegiatan seni dan pementasan yang mendukung gerakan reformasi, termasuk pemutaran perdana film dokumenter "Tragedi Trisakti" di Universitas Parahyangan.
Kontroversi dan Tekanan Pemerintah
Meskipun karya-karyanya banyak dipuji, Harry Roesli juga seringkali berada dalam tekanan pemerintah. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas dalam format 24 jam nonstop hampir dilarang untuk dipentaskan. Bahkan, pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, ia sempat diperiksa oleh Polda Metro Jaya karena memelesetkan lagu wajib "Garuda Pancasila" setelah Abdurrahman Wahid dimakzulkan.
Diskografi dan Filmografi
Harry Roesli memiliki sejumlah karya musik yang menjadi tonggak penting dalam sejarah musik Indonesia, di antaranya album "Philosophy Gang" (1973), "Ken Arok" (1975), "Titik Api" (1976), dan "L.T.O" (1978). Selain itu, ia juga berkontribusi sebagai komponis dalam berbagai film, termasuk "Si Kabayan dan Gadis Kota" (1989) dan "Si Kabayan Mencari Jodoh" (1994).
Penghargaan dan Pengakuan
Pengaruh dan warisan Harry Roesli dalam dunia musik Indonesia diakui oleh berbagai pihak. Pada tahun 2008, majalah Rolling Stone Indonesia memasukkannya sebagai salah satu dari "The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa." Ia juga menerima penghargaan "Legend Award" dari Anugerah Musik Indonesia pada tahun 2017.
Presiden Joko Widodo memberikan gelar tanda jasa dan kehormatan kepada mendiang musisi legendaris Harry Roesli. Penghargaan ini diberikan jelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia, sebagai bentuk penghormatan atas kontribusi besar Harry Roesli di bidang seni budaya. Tanda kehormatan tersebut diterima oleh istri sekaligus ahli waris Harry Roesli, Kania Handiman Roesli, dalam sebuah upacara yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (14/8/2024).
Harry Roesli dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma, sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada tokoh yang berperan signifikan dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Indonesia. Pemberian penghargaan ini menegaskan pengakuan negara atas jasa-jasanya sebagai seorang musisi serba bisa yang telah memberikan dampak besar pada dunia musik Indonesia.
Akhir Hidup
Harry Roesli meninggal dunia pada 11 Desember 2004 di RS Harapan Kita, Jakarta. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia seni Indonesia, namun warisannya terus hidup melalui karya-karya musik dan teater yang penuh dengan kritik sosial dan dedikasi terhadap keadilan.
Harry Roesli bukan sekadar seniman; ia adalah seorang pejuang yang menggunakan seni sebagai alat untuk menyuarakan kebenaran dan menginspirasi perubahan. Warisannya akan terus dikenang dan dihormati oleh generasi-generasi mendatang.