Hadis Arbain ke-34 yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengandung pesan mendalam tentang kewajiban setiap individu dalam melawan kemungkaran. Hadis ini berbunyi:
“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”
Hadis ini tidak hanya berbicara tentang tindakan individu, tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif dalam menjaga moral dan keadilan di masyarakat. Dalam konteks sosial dan politik, hadis ini relevan ketika membahas peran masyarakat, khususnya mahasiswa, dalam menghadapi penguasa yang dzalim.
Penguasa Dzalim dan Kemungkaran
Penguasa dzalim, atau pemimpin yang berbuat zalim, adalah mereka yang menggunakan kekuasaan untuk menindas rakyat, melanggar hak-hak asasi manusia, dan bertindak tanpa keadilan. Dalam sejarah, banyak pemimpin yang tergelincir dalam kemungkaran karena tergoda oleh kekuasaan, harta, atau ketenaran. Tindakan mereka menciptakan ketidakadilan dan penderitaan bagi rakyat.
Islam dengan tegas mengecam tindakan dzalim. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis ini bahwa ketika kemungkaran terlihat, tidak boleh ada sikap diam. Melihat kemungkaran, terutama yang dilakukan oleh penguasa, harus dihadapi dengan tindakan.
Peran Mahasiswa dan Masyarakat dalam Melawan Kemungkaran
Mahasiswa sering kali menjadi ujung tombak perlawanan terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa. Mereka dianggap sebagai kelompok yang memiliki idealisme tinggi dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Aksi unjuk rasa mahasiswa merupakan salah satu bentuk nyata dari pengamalan hadis ini. Ketika mahasiswa turun ke jalan, mereka melakukannya dengan tujuan untuk mengubah kemungkaran yang mereka lihat—baik itu korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau ketidakadilan sosial.
Mengacu pada hadis ini, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat bisa dikategorikan sebagai bentuk perubahan dengan tangan dan lisan. Mereka berupaya untuk mengubah situasi melalui demonstrasi, petisi, dan advokasi, yang merupakan bentuk tindakan nyata dalam rangka melawan kemungkaran.
Namun, penting untuk dicatat bahwa hadis ini juga memberikan pilihan bagi mereka yang tidak mampu bertindak langsung. Bagi mereka yang tidak bisa mengubah dengan tangan atau lisan, mengingkari dengan hati tetap dianggap sebagai tindakan iman. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun, keimanan tidak boleh hilang.
Implikasi Hadis dalam Aksi Unjuk Rasa
Dalam konteks modern, hadis ini memberikan dasar yang kuat bagi masyarakat, terutama mahasiswa, untuk menentang segala bentuk kemungkaran, termasuk yang dilakukan oleh penguasa. Aksi unjuk rasa yang dilakukan secara damai dan bertujuan untuk memperbaiki keadaan merupakan bentuk nyata dari penerapan hadis ini. Ketika rakyat berani menyuarakan ketidakadilan, mereka bukan hanya melaksanakan hak demokratis, tetapi juga menjalankan perintah agama.
Tentu saja, dalam menghadapi penguasa dzalim, terdapat risiko dan tantangan. Namun, hadis ini mengingatkan bahwa mengabaikan kemungkaran sama dengan mengabaikan keimanan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam situasi di mana kekuatan tangan dan lisan tidak memadai, ingkar dalam hati pun harus tetap ada sebagai bentuk iman yang paling dasar.
Kesimpulan
Hadis Arbain ke-34 mengajarkan bahwa kemungkaran harus dilawan, dengan cara yang sesuai dengan kemampuan individu. Dalam menghadapi penguasa dzalim, perlawanan dengan tangan, lisan, atau hati adalah bagian dari iman yang wajib dijalankan oleh setiap Muslim. Aksi unjuk rasa mahasiswa dan rakyat adalah manifestasi dari semangat ini, yang menunjukkan bahwa keimanan dan tanggung jawab sosial harus berjalan seiring dalam melawan ketidakadilan.