-->

Iklan

Sejarah Cianjur 13 : Datangnya Dalem Cikundul ke Jampang Manggung

terasmudacianjur
Selasa, 06 Agustus 2024, 07.22 WIB Last Updated 2024-08-08T23:07:00Z





Ranggawulung wafat, jenazahnya dikebumikan di sekitar pesantren Bina Akhlak desa Babakan Karet Kec. Cianjur Kab. Cianjur. Wafatnya Syeh Jalil membawa pengaruh yang mendalam bagi kerajaan, maklum saja karena belum ada ulama pengganti yang setara dengan kecakapan Syeh Jalil. Pada saat Ranggawulung wafat, penyebaran agama Islam di Jawa Barat semakin luas oleh Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten yang didukung Kesultanan Demak.

Puncaknya dominasi Islam ditandai dengan hancurnya kerajaan Pajajaran setelah digempur pasukan gabungan Cirebon, Demak dan Banten. Syeh Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati Cirebon yang memimpin penyerbuan itu, pada tanggal 8 Mei 1579 menyatakan bahwa Kerajaan Pajajaran telah dihapus.

Setelah hancurnya Pajajaran, serangan dilanjutkan kepada kerajaan-kerajaan yang dianggap masih setia kepada Pajajaran seperti Galuh, dan Talaga. Kerajaan Galuhpun dapat akhirnya tidak dapat membendung serangan, Prabu Cakraningrat raja terakhirnya dapat ditaklukan.

Sedangkan kerajaan Talaga yang diperintah Sunan Wanaperih / Pangeran Setyapati secara damai menyatakan setia kepada Kesultanan Cirebon setelah Sunan Gunung Jati Cirebon datang langsung dengan damai kehadapan Sunan Wanaperih.

Sayangnya saat Ranggawulung wafat, pamor kesultanan Cirebon sudah pudar. Panembahan Ratu / Pangeran Karim Sultan Cirebon saat itu kekuasaannya sudah dibawah kesultanan Mataram yang diperintah Sunan Amangkurat I (1646 – 1677 ) yang pro penjajah Belanda.

Kebijakan Sultan Mataram menjadi bagian kebijakan yang berlaku dihampir seluruh pulau Jawa termasuk Jawa Barat. Salah satu kebijakan yang harus dilaksanakan adalah kewajiban menanam padi disawah, tentu saja hal ini menghapus kebiasaan warga tatar Sunda yang biasa menanam padi digunung-gunung.

Namun hal itu bagi Prabu Laksajaya dianggap sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindari sesuai perkembangan jaman. Maka saat ia memutuskan untuk mengirim surat kepada Sultan Cirebon / Pangeran Karim (1646-1666) ia menegaskan agar Sultan Cirebon itu mengrim ulama yang juga ahli dalam menanam padi disawah, yang oleh Prabu Laksajaya disebut Huma Banjir.

Permintaan Raja Jampang Manggung dipenuhi Sultan Cirebon dengan mengirimkan Raden Jayasasana seorang ulama yang juga ahli bertani. Maka setibanya di Jampang Manggung, selain mengajar agama Islam Jayasasana mengajarkan cara menanam padi disawah kepada warga Jampang Manggung, oleh karena itu bisa ditegaskan bahwa Raden Jayasasa lah yang pertama kali mengajarkan cara menananam padi di Jampang Manggung (Cianjur).

Kecakapan Raden Jayasasana dalam berbagai bidang membuat kagum Laksajaya Raja Jampang Manggung. Jayasasana juga mengajarkan teknik berperang kepada pasukan Jampang Manggung. Bahkan oleh Hibar Palingping Patih Jampang Manggung, Jayasasana dilibatkan dalam mempertahankan Jampang Manggung saat mengalami serangan dari kesultanan Banten dan Kerajaan Sumedang Larang.

Dalam buku “ Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wiratanu Dalem Cikundul” yang disusun Bayu Surianingrat disebutkan Banten dan Sumedang Larang merasa berhak atas wilayah bekas kekuasaan Pajajaran setelah kerajaan ini sirna. Bahkan untuk mewujudkan menjadi penguasa tatar Sunda segala cara dilakukan seperti yang dilakukan raja Sumedang Larang Prabu Rangga Gempol III (1656-1706).

Raja ini pernah meminta bantuan Belanda untuk mewujudkan ambisinya, Pangeran Karim Sultan Cirebon yang merasa terancam segera menjaga daerah perbatasannya yang paling jauh yakni sekitar pegunungan Cimapag dan pegunungan Cianjur dengan menugaskan Jayasasana.

Setiap pedagang asal Sumedang Larang yang akan melintas diusir, apabila memaksa hartanya dirampas. Rangga Gempol III yang juga merasa memiliki atas wilayah tersebut meminta bantuan VOC /Belanda agar mengamankan dua wilayah itu, namun Belanda tidak memenuhi permintaan cucu Prabu Geusan Ulun itu.

Kesultanan Bantenpun yang juga merasa berhak atas wilayah bekas kerajaan Pajajaran, mengerahkan pasukan diantaranya menyerang Jampang Manggung / Cianjur. Saat itu nama Cianjur belum dijadikan nama kabupaten, bila melihat peristiwa penunjukkan Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang tanggal 22 September 1655 oleh para bupati Sunda, mungkin saja nama wilayah ini adalah kerajaan Gagang.

Dalam Wawacan Jampang Manggung dilukiskan, pasukan Banten sempat menguasai Jampang Manggung, namun kemudian Patih Hibar Palimping dan Jayasasana berhasil mengumpulkan kembali kekuatan hingga dapat mengusir pasukan Banten. Tempat - tempat yang pernah terjadi pertempuran dengan Banten sekarang masih ada, seperti di daerah Cugenang terdapat nama Pongpok.

Dalam Wawacan Jampang Manggung dilgambarkan bagaimana pasukan Banten dihadang pasukan Jampang Manggung hingga tidak bisa lagi memasuki pusat kerajaan Jampang Manggung kejadian ini dinamakan dipongpok atau dibendung.

Selain Pongpok, daerah lain yang memiliki keterkaitan dengan perang dengan Banten adalah Gekbrong yang kini menjadi salah satu nama kecamatan di Cianjur. Gekbrong yang merupakan wilayah perbatasan dengan Kabupaten Sukabumi ini dahulunya sempat menjadi tempat pertempuran antara pasukan Banten yang semakin terdesak oleh pasukan Jampang Manggung.

Pasukan Banten yang semula merasa aman dari kejaran pasukan Jampang Manggung sempat beristirahat, namun ternyata tiba-tiba datang pasukan Jampang Manggung maka terjadi kembali pertempuran, Gekbrong berarti pasukan Banten yang sempat istirahat sejenak (karek ge Gek) sudah kembali digempur pasukan Banten dan kembali terjadi perang / Brong. Maka tempat itu dinamakan Gekbrong.

Setelah pertempuran itu, sisa-sisa pasukan Banten meloloskan diri namun mereka dapat disergap didaerah Sukabumi yakni Sukaraja. Dinamai Sukaraja, menggambarkan terjadinya sumpah setia pasukan Banten yang sudah menyerah kepada pasukan Jampang Manggung. Setelah menyerah sisa pasukan Banten ini bersumpah akan setia kepada Raja Jampang Manggung, maka tempat tersebut disebut Sukaraja.

Dalam buku “ Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wiratanu / Dalem Cikundul “ diterangkan bahwa Dalem Cikundul sempat berkirim surat kepada Belanda atas serangan yang dilakukan Banten terhadap wilayahnya. Kabupaten Cianjur saat itu berpenduduk sekitar 1500 orang yang terdiri dari berbagai usia dari mulai bayi hingga warga usia lanjut, diperkirakan dari jumlah itu sekitar 400 hingga 500 orang dijadikan pasukan perang yang diantaranya menghadang Banten.

Rd. Aria Wiratanu I berkirim surat kepada VOC menjelaskan adanya gangguan pasukan Banten terhadap wilayahnya yang berbunyi :

“ ...Desen brieff komt van Aria Wiratanou aan den capteyn Harsticnk . “ By desen brieff maack ick uw het verlies van al uw volck bekent. Haere negorie is Tsitanjor geheeten en door den Bantemmens vernielt; het hooft der Bantemmers is Kingwey Jaja di Prana en heeft by sigh 700 gewapende mannen, waeronder 150 zoo Macassaren als Baleyers benen, Kingwey Santaprana is nevens 1 loera ven ons van t geberghte is ontelbaer. De Bantammers hebben daanrentegen 47 verlooren emdit is dat ick bidde : Indien de Sousouhounangh Mankourat noch geholpen wert, dat wy met volck oock mogen geholpen werden: 103 soo buffels als coebeesten hebben se van de coopluyden genomen en buyten eynde. Waar se deselve vergadert hebben, is in Tsianjor en Tsiseroua. Wat buyten dese brieff meer te seggen valt, weet Bagus Soeta Watsiana “.

Yang artinya:

"Ini surat dari Aria Wiratanu untuk Kapten Harstinck. Nagrina disebut Cianjur jeung diancurkeun ku urang Banten. Kepala urang Banten eta Ki Ngabehi Jaya Diparana ngabogaan 700 urang make pakarang, diantara 150 urang jeung Bali. Ki Ngabehi Santaparana jeung hiji lurah ti urang (Cianjur) diparaehan ku urang Banten oge rahayat teu kaitung lainna nu diparaehan di daerah pagunungan. Urang Banten ngan kaleungitean 47 urang. Pamenta kuring lamun (Belanda) masih nulungan Susuhunan Amangkurat, kuring jeung rahayat oge kudu ditulungan. Urang Banten geus ngarampas 103 munding jeung sapi ti pedagang-pedagang anu kumpul didaerah Cianjur jeung Cisarua. Bagus Suta Watsiana oge terangeun."

Namun surat permohonan bantuan tersebut tidak dipenuhi VOC / Belanda, kemungkinan karena Cianjur belum diakui Belanda sebagai sebuah kabupaten, masih berupa Padaleman mandiri. Mungkin juga tindakan pembiaran ini sebagai strategi adu domba VOC terhadap para penguasa pribumi.

Dan setelah yakin tidak juga mendapat bantuan Belanda, Rd. Aria Wiratanu I/ Dalem Cikundul menghimpun kembali kekuatan, diantaranya menambahkan warga yang tinggal di Cikundul sebagai pasukan tambahan. Dalam serangan balik terhadap Banten tersebut Dalem Cikundul menggunakan taktik perang gerilya yang berciri khas “ meupeuh- kabur” dan stratergi tersebut terbukti ampuh dapat mengusir Banten dari Cianjur .

Sumber:
Cianjur dari Masa ke Masa ( Fakta Sejarah dan Cerita Rakyat ) | Yayasan Dalem Aria Cikondang Cianjur. 2020

Penyusun:
R. Luki Muharam, SST

Editor :
R. Pepet Djohar
Dr. Dadang Ahmad Fajar,
M.Ag Memet Muhammad Thohir
Komentar

Tampilkan

  • Sejarah Cianjur 13 : Datangnya Dalem Cikundul ke Jampang Manggung
  • 0

Terkini