Rd. Aria Wira Tanu I/ Dalem Cikundul Bupati Cianjur Pertama/ Dalem Mandiri (1677 – 1691)
1. Masa kecil Dalem Cikundul
Dalem Cikundul bernama kecil Pangeran Jayalalana atau Rd. Jayasasana ia adalah anak sulung dari pasangan Rd. Aria Wangsagoparana dan Nyi Mas Siti Mahayu. Dari fihak ayah, Jayasasana mewarisi darah raja Talaga sedangkan dari fihak ibu mewarisi darah raja Panjalu. Namun Rd. Damanhuri berbeda pendapat, menurutnya Rd. Jayasasana adalah putra kedua dari pasangan ini, karena memiliki kakak laki-laki bernama Raden Entol.
Hingga kini belum banyak diketemukan catatan kapan dilahirkannya Rd. Jayasasana, sejumlah babad dan beberapa buku sejarah Cianjur hanya mencantunkan bahwa ia meninggal pada tahun 1691 . Namun dalam buku “Hikayat Suatu Bangsa Hingga Lahirnya Negeri Cianjur “ diterangkan bahwa Rd Jayasasana dilahirkan pada tahun 1023 Hijriyah. Bila berdasarkan perhitungan tahun Masehi, tahun 1023 H bertepatan dengan tahun 1614 M.
Dalam buku inipun digambarkan bagaimana suasana ketika Rd. Jayasasana masih diperut ibunya hingga usia kandungan 12 bulan berbeda dengan bayi biasanya yang rata- rata 9 bulan. Saat menjelang kelahirannya, bulan terus bercahaya purnama setiap malam selama 40 hari jelang kelahirannya. Dan pada saat akan dilahirkan, Dalem Aria Wangsagoparana melihat cahaya didalam perut istrinya.
Jayasasana dilahirkan saat menjelang sore, seusai hujan rintik-rintik. Suasana diperkampungan tempat ia tinggal dengan orang tuanya, menyambut sukacita saat Jayasasana dilahirkan. Rakyat secara serempak menyalakan obor dan daun kelapa kering (bararak) hingga suasana menjadi terang benderang yang dalam bahasa Sunda disebut Sagalaherang, maka kemudian tempat tinggal Jayasasana disebut Sagalaherang hingga kini, dan menjadi nama kecamatan di kabupaten Subang.
Namun ada juga pendapat yang menyatakan ucapan Sagalaherang, berasal dari sebuah telaga yang airnya bening, sehingga kampung tersebut disebut Sagaraherang. Namun kenyataannya bila berkunjung ke Subang nama yang digunakan pemerintah setempat sebagai nama kecamatansekarang adalah Sagalaherang.
Bayi lelaki bernama Jayasasana memilili keistimewaan tersendiri yakni jari telunjuk dan jari tengahnya sejajar. Dan sehari setelah dilahirkan, Dalem Aria Wangsagoparana menerima kedatangan sepasang suami istri berusia renta penganut agama Sunda Wiwitan, mereka berdua bercerita telah lama menanti kelahiran sang jabang bayi yang menurut ramalan mereka akan menjadi manusia utama saat dewasa. Penganut Sunda Wiwitan itu memberi nama untuk Jayasasana yakni Raden Panji Kusumah, yang menurut ramalan mereka akan menjadi pemimpin dan tokoh agama disuatu negeri.
Berbeda dengan anak lainnya, saat berusia tiga tahun Jayasasana sering pergi menyendiri diatas gunung, selain itu ia memilik pendengaran tajam. Malah bisa mendengar suara orang berbisik dari jarak kejauhan. Oleh kedua orang tuanya Jayasasana dididik ajaran agama Islam, maka tidak heran saat berumur 8 tahun sudah hafal beberapa zuz ayat suci Al Quran.
Dan seperti sudah tradisi saat itu, anak-anak keturunan raja selalu dikirim ke pesantren Amparan Jati Cirebon, demikian juga dengan Jayasasana. Ia menimba ilmu pesantren selama bertahun-tahun hingga mencapai usia 20 tahun. Kecakapannya sebagai santri menarik hati Sultan Cirebon Panembahan Ratu menjadikannya seorang kepala pasukan, sebagai seorang pejabat setingkat senopati Jayasasana diberi nama gelar Raden Aria Wiratanu .
Ketika berumur 15 tahun kedaan politik dipulau Jawa sedang terjadi persaingan kekuasaan antara Sultan Agung penguasa Kesultanan Mataram dengan VOC yang ingin menguasai tanah air. Sultan Agung Mataram (1613 – 1645) berambisi sekali ingin menguasai pulau Jawa, malah Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon pun akhirnya tunduk kepada Mataram.
Pada tahun 1628 Sultan Agung dengan ribuan pasukan menyerang benteng-benteng Belanda di Batavia namun serangan itu dapat dilumpuhkan Belanda. Ketika terjadi penyerangan Mataram ke Batavia, Raden Jayasasana menghadap Sultan Cirebon, ia minta dilibatkan dalam penyerbuan itu. Namun keinginan Jayasasana itu ditolak, karena Sultan telah mempersiapkan Jayasasana untuk tugas lain.
Dari sikap itu nampaklah jiwa nasionalisme Jayasasana yang anti penjajah asing, ia merasa terpanggil untuk turut mengusir Belanda dari tanah air kendati umurnya masih remaja.
(Lukisan Imajiner Dalem Cikundul karya pelukis Dudum Sonjaya tahun 2006, sampai saat ini belum ditemukan lukisan atau foto asli Dalem Cikundul yang dibuat saat masa hidup hingga wafatnya tahun 1691.) |
Selain berlatih kecakapan beladiri, Jayasasana memiliki kegemaran menerpa jiwa dengan khalwat atau ujlah yakni tafakur ditempat sunyi untuk lebih mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Salah satu tempat yang ia sukai adalah disebuah gua yang kini berada di kampung Panumbangan, Desa Cibodas Kec. Sagalaherang Kab. Subang.
Sebagian pendapat lain mengatakan bahwa ia kerap bertafakur disebuah batu besar disebuah telaga berair bening, hingga kini nama kampungnya masih ada yakni kampung Batu Gede masih di desa Cibodas Kec. Sagalaherang Subang, namun batu bekas duduk bertafapur kini sudah hilang, namun telaga berair bening masih ada dan terawat dengan baik.