-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Viral! Merek Minuman Seperti "Wine" dan "Tuak" Dapat Sertifikat Halal, MUI Bantah Bertanggung Jawab

Rabu, 02 Oktober 2024 | 08.52 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-02T01:55:19Z


Sejumlah merek minuman dengan nama-nama tak lazim seperti "Tuyul", "Tuak", "Beer", dan "Wine" mengejutkan publik setelah mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kejadian ini menjadi sorotan dan viral di media sosial, karena banyak pihak mempertanyakan bagaimana produk dengan nama yang biasanya identik dengan hal-hal terlarang menurut ajaran Islam bisa mendapatkan sertifikat halal dari badan resmi pemerintah.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, memberikan klarifikasi terkait masalah ini. Menurutnya, sertifikat halal untuk produk-produk tersebut diberikan melalui mekanisme self declare, tanpa adanya proses audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) maupun penetapan kehalalan oleh Komisi Fatwa MUI.

"Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut," ungkap Asrorun Niam seperti dikutip dari Antara pada Selasa, 1 Oktober 2024.

Proses Sertifikasi yang Dipertanyakan

Kasus ini mengundang berbagai reaksi di masyarakat, terutama dari netizen yang mempertanyakan proses sertifikasi halal yang dijalankan oleh BPJPH. Penggunaan nama-nama yang kontroversial untuk produk yang dinyatakan halal, menurut sebagian orang, berpotensi merusak citra sertifikasi halal dan membingungkan masyarakat.

Sejumlah netizen mengaitkan kejadian ini dengan MUI, yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penetapan fatwa halal di Indonesia. Namun, Asrorun Niam menegaskan bahwa MUI tidak terlibat dalam proses sertifikasi produk-produk tersebut.

Fatwa MUI Tentang Penggunaan Nama dan Simbol Produk

MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa Nomor 44 Tahun 2020 mengenai penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal. Dalam fatwa tersebut, disebutkan beberapa ketentuan yang melarang produk dengan nama yang berkonotasi negatif, terkait dengan kekufuran, kemaksiatan, atau yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan.

Beberapa poin penting dalam fatwa tersebut antara lain:

1. Larangan terhadap produk dengan nama atau simbol yang bertentangan dengan ajaran Islam.


2. Larangan penggunaan nama benda atau hewan yang diharamkan kecuali jika telah mentradisi (‘urf) dan tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.


3. Larangan terhadap produk yang menggunakan kemasan yang menggambarkan hal-hal yang bertentangan dengan norma kesopanan dan etika yang berlaku di masyarakat.



Fatwa tersebut menegaskan bahwa nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam tidak dapat diajukan untuk sertifikasi halal, meskipun produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang haram.

Penjelasan BPJPH

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, memberikan klarifikasi terkait kasus ini. Menurutnya, sertifikasi halal diberikan bukan berdasarkan nama produk, melainkan berdasarkan substansi produk itu sendiri.

"Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku," ujar Mamat di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024.

Mamat juga menjelaskan bahwa penggunaan nama-nama yang tidak lazim pada produk halal menjadi fokus dalam proses evaluasi berikutnya untuk memastikan penamaan produk sesuai dengan etika dan norma yang berlaku.

Penegasan Tanggung Jawab

Meskipun BPJPH menegaskan bahwa sertifikasi halal tetap diberikan berdasarkan substansi produk, polemik mengenai nama-nama yang digunakan oleh beberapa produk ini menciptakan pertanyaan di kalangan masyarakat. MUI menegaskan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas sertifikasi halal produk yang tidak melalui prosedur yang sesuai dengan standar fatwa mereka.

Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya harmonisasi antara penetapan halal dan penggunaan nama produk agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait kehalalan suatu produk.
×
Berita Terbaru Update