-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Sejarah Cianjur 23 : Sejarah Tradisi Kuda Kosong

Selasa, 03 Desember 2024 | 06.05 WIB | 0 Views Last Updated 2024-12-04T00:35:29Z
                             

Sejarah lahirnya tradisi Kuda Kosong terdapat di buku Sejarah Cianjur karya Nyi Mas Syarifah Didoh. Namun terdapat hal yang harus dikoreksi terlebih dahulu karena pada buku tersebut penyusun buku menyebutkan bahwa penguasa Kesultanan Mataram adalah Panembahan Senopati. Padahal Panembahan Senopati tidak sejaman dengan Rd. Aria Wiratanu II/ Rd. Astramanggala Bupati Cianjur periode 1691-1707. Sedangkan Panembahan Senopati adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah periode 1587 – 1601. Nampaknya yang dimaksud Syarifah Didoh adalah Sunan Amangkurat II Sultan Mataram yang memerintah periode 1677 – 1703, Amangkurat II adalah cicit dari Panembahan Senopati.

Dalem Wiratanu II dalam memerintah Kabupaten Cianjur selalu melibatkan adik-adiknya sebagai penasihat, terutama disaat akan memutuskan masalah yang penting mengutamakan musyawarah. Demikian juga saat menerima surat dari Sultan Mataram yang dibawa utusannya bernama Raden Ronggo. Sultan Mataram yang berambisi ingin menguasai pulau Jawa dalam suratnya meminta jawaban Cianjur, apakah akan tunduk menjadi bawahan Mataram atau akan melawan.

Dalem Wiratanu II meminta adik-adiknya untuk turut memikirkan jawaban yang akan disampaikan kepada Sultan Mataram. Adik- adik Dalem Wiratanu II yaitu Dalem Aria Kidul / Rd. Natadimanggala, Dalem Aria Cikondang / Rd. Wiradimanggala, Dalem Panembong / Rd. Aria Suradiwangsa, Dalem Sarampad/ Rd. Aria Martayuda.

Namun sebagai pertimbangan, Dalem Wiratanu II menyatakan bahwa Cianjur adalah kabupaten yang baru berdiri yang hanya berpenduduk 3000 umpi, kemungkinan besar tidak akan sanggup melawan Mataram merupakan kerajaan besar yang didukung Belanda. Namun kendati begitu, Cianjur tidak ingin menjadi bawahan Mataram.

Dari musyarawah tersebut Dalem Aria Kidul sebagai adik tertua Bupati Cianjur mengusulkan agar ditempuh dengan kunjungan diplomasi ke Sultan Mataram di Kertusoro dan menyampaikan surat yang berisi keinginan Cianjur sebagaimana disampaikan Wiratanu II, yaitu tidak ingin menjadi taklukan Mataram akan tetapi tidak ingin pula berperang karena hanya akan menyesarakan rakyat.

Lalu Bupati Cianjur menyuruh adiknya untuk membuat surat untuk Sultan Mataram, karena memang Dalem Aria Kidul sudah terbiasa membuat konsep- konsep surat untuk kakanya. Maka jadilah surat berbahasa Jawa yang berbunyi “ SERAT KALI SEMBAH PANGABAKTIMedal saking iklasing wedaya, abdi Dalem Sunda Kilen kang dahat budi punggung, kangte sengah pasiten Gusti. Kita ing Pamoyanan Tepining Cianjur Aria Wiratanu II, mugi kongjuk Ing Dalem Kanjeng Sinuhun Ing Mataram, sasampuning kadya sapuniki. Kebak dalem nyaoskeun raga, nagri sareng isine, pitik oge katur sumangga kersaning dalem, kaula derma tengga, ayahan pakulun, cipta ulun kumaula siang dalu, mung nyadong adoh jeung gusti sumangga raga kasrah.”

Dalem Wiratanu II begitu suka cita mendengarkan isi surat yang dibacakan adiknya dalam paparannya Syarifah Didoh menggambar komentar Dalem Wiratanu II kepada adiknya : Eh adi Aria Kidul, naha mana ngeunah ngeunah teuing, kakang teh teu ayana bisa kitu. Ieu serat kakang rasa moal gagal, tangtos kamanah ku Sinuhun Mataram, hade pokpokanana, “ ujar Dalem Cianjur.

Lalu Bupati Cianjur mempercayakan agar Aria Kidul juga yang menjadi utusan Bupati Cianjur menghadap Sultan Mataram. Selain surat Kalih, Sunan Amangkurat II juga diberikan cindera mata berupa tiga kotak kecil yang setiap kotaknya berisi 3 butir padi, 3 butir merica / pedes dan 3 biji cabe rawit. Tiga cinderamata ini memiliki arti bahwa Cianjur adalah kabupaten yang baru berdiri dan belum memiliki kekayaan yang banyak hal ini digambarkan dengan simbol tiga butir padi, akan tetapi walaupun Cianjur baru berdiri dan masih lebih kecil dibanding dengan Kesultanan Mataram yang besar, namun Cianjur tidak akan tinggal diam apabila dihina atau dijajah.

                                          

(Bagian luar makam Dalem Aria Kidul / Rd. Natadimanggala bin Dalem Cikundul di kampung Babakan Jati Jebrod Cianjur tidak jauh dari terminal Pasir Hayam Cianjur).

Ibu kota kesultanan Mataram berada di Kertosuro atau Kartasura, yang sekarang masuk kedalam wilayah Kecamatan Kartasura Kab. Sukaharjo Jawa Tengah. Perjalanan Dalem Aria Kidul dan rombongan menurut Syarifah Didoh lamanya mencapai enam bulan pergi dan pulang. Dalem Aria Kidul dan rombongan menaiki kuda melintasi hutan lebat yang tentu saja rawan dengan gangguan binatang buas dan begal. Untuk itu Dalem Aria Kidul keberangkatannya disertai pendekar-pendekar silat yang jumlahnya puluhan.

Syukurnya setiap gangguan keamanan dapat dilalui dengan baik, hingga dapat tiba dengan selamat di keraton Kertosuro Adiningrat yang ditempati Sunan Amangkurat II sejak tahun 1680. Aria Kidul lalu menyerahkan surat Kalih dan cinderamata kepada Patih keraton untuk disampaikan kepada Sultan Mataram.

Dikisahkan saat itu sedang berkumpul para bupati dari berbagai daerah untuk menyerahkan upeti kepada Sultan. Dan setelah Sultan Mataram membaca Surat Kalih juga melihat cindera mata dari Cianjur, Sultan tersenyum lalu ia mempersilakan Dalem Aria Kidul untuk menghadapnya.

Rupanya Sultan Mataram merasa senang setelah membaca Surat Kalih dan cinderamata, Kabupaten Cianjur bagi Amangkurat II akan dianggap sebagai saudara bukan sebagai kabupaten jajahan, hal tersebut disimbolkan dengan pemberian keris bagi bupati Cianjur sebagai lambang persaudaraan, malah keris yang diberikan langsung adalah keris Sultan yang terselip dipinggangnya yang bertahtakan intan berlian.

Selain keris Sultan Mataram memberikan seekor Kuda Balap jantan hitam dari Eropa bagi bupati Cianjur, hal tersebut memiliki makna agar Cianjur segera membangun daerahnya secepat kuda balap. Dan yang terakhir Sultan Mataram memberikan pohon Saparantu. Pohon ini dikenal memiliki umur panjang pemberian ini sebagai simbol doa Sultan untuk Cianjur agar selamanya berdiri.

Pemberian Sultan Mataram bagi kabupaten Cianjur adalah anugrah, sebab tidak semua kabupaten mendapat perlakuan istimewa pada masa itu. Makanya selama perjalanan Dalem Aria Kidul tidak menaiki kuda pemberian Sultan sebagai bentuk penghormatan kepada Bupati Cianjur yang mendapat penghargaan itu. Tentu saja, anugrah tersebut sebagai bukti sejarah keberhasilan kabupaten Cianjur dalam bidang dipolamatik hingga menjadikan kabupaten Cianjur diakui sebagai saudara Kesultanan Mataram bukan sebagai jajahan, namun sayangnya keberhasilan Dalem Aria Kidul sebagai utusan Cianjur seolah tidak dikenal oleh warga Cianjur.

                                     

(Iring-iringan Kuda Kosong selalu digelar setiap memperingati Hari Lahir Cianjur tanggal 12 Juli, tradisi ini memperingati keberhasilan diplomasi Cianjur ketika menghadapi kekuasaan Kesultanan Mataram saat diperintah Sunan Amangkurat II. Keberhasilan misi diplomasi Dalem Aria Kidul utusan Bupati Cianjur menghadap Sunan Amangkurat II menjadikan Kab. Cianjur yang saat itu baru berdiri tidak menjadi jajahan Mataram yang didukung Belanda. Malah kemudian dijadikan saudara, ini dibuktikan dengan pemberian seekor kuda balap Eropa jantan berwarna hitam yang memiliki pesan Sunan Mataram agar Cianjur segera membangun daerahnya secepatnya laksana kuda balap. Selain kuda balap, Sunan Amangkurat II juga memberikan anugrah sebilah keris dan pohon Saparantu. Keris yang diberikan memberikan makna bahwa Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II diangkat sauadara oleh Sultan Mataram. Sedangkan pohon Saparantu yang berumur panjang memiliki makna Cianjur sebagai sebuah kabupaten harus berusia panjang. Keris dan simbol pohon Saparantu selalu menyertai arak arakan Kuda Kosong.)

Kesuksesan misi diplomatik Cianjur disambut dengan sukacita, warga Cianjur yang saat itu berkisar 3000 jiwa sebagian besar menyambut rombongan Dalem Aria Kidul saat tiba di kampung Muka hingga Pendopo Bupati Cianjur yang masih sederhana di kampung Pamoyanan. Rakyat menyambut dengan hormat disepanjang jalan, namun ada pula yang mengikuti rombongan sambil memukul berbagai bunyi-bunyian malah ada yang menari sederhana dibelakang rombongan Dalem Aria Kidul.

Saat rombongan tiba dipendopo, Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II menerima anugrah tersebut dengan suka cita ia lalu menunggangi kuda tersebut walau hanya sebentar. Dikisahkan, Dalem Wiramanggala selalu menampilkan iringan Kuda Kosong apabila mendapat tamu istimewa atau bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda. Namun kemudian penampilan iring-iringan Kuda Kosong dikhususkan saat perayaan hari-hari besar agama Islam Maulid Nabi Muhammad SAW.

Dari sinilah awal mula adanya tradisi pawai iring-iringan Kuda Kosong yang mengitari kota, namun sayang dalam perjalan sejarahnya tradisi Kuda Kosong ratusan tahun kemudian mendapat tambahan ritual yang tidak sesuai dengan aslinya, hingga dikaitkan kepada hal hal yang bersifat mistik.

Syukurnya, sejak tahun 2007 tradisi Kuda Kosong sudah kembali seperti semula setelah terjadi kesepakatan antara Majelis Ulama (MUI) Kab. Cianjur yang dipimpin Mama Ajengan Elim dan para budayawan yang dipimpin Abah Ruskawan dan Ustad Dadang Ahmad Fajar. Pertemuan itu meniadakan ritual yang berbau mistik yang memang tidak ada saat Kuda Kosong pertama kali digelar pada jaman Bupati Cianjur Dalem Rd. Aria Wiratanu II.

                                             

(Pohon Saparantu pemberian Sultan ataram mangkurat II kepada Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II/ Rd. Wiramanggala masih berdiri kokoh kendati berusia ratusan tahun. Terletak di Kp. Saparantu Desa Bobojong Kec. Mande Kab. Cianjur tidak jauh dari Koramil dan Lapang Cibalagung. Ketika diberikan pertama kali kepada Dalem Aria Kidul ratusan tahun silam masih berupa bibit pohon).



Sumber:

Cianjur dari Masa ke Masa ( Fakta Sejarah dan Cerita Rakyat ) | Yayasan Dalem Aria Cikondang Cianjur. 2020


Penyusun:

R. Luki Muharam, SST


Editor :

R. Pepet Djohar

Dr. Dadang Ahmad Fajar,

M.Ag Memet Muhammad Thohir



×
Berita Terbaru Update