Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Wargi yang dirahmati Allah SWT. Dalam menjalani kehidupan, Islam memberikan aturan yang sangat jelas dalam muamalah, termasuk dalam pengelolaan dan kepemilikan harta. Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah larangan mengambil harta orang lain tanpa izin atau kerelaan pemiliknya. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.”
(HR. Ahmad, No. 20172)
Hadis ini memberikan landasan dasar bahwa kepemilikan harta dalam Islam dihormati dan dilindungi. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai prinsip ini dari perspektif Al-Qur'an, hadis, pendapat ulama, dan fiqih, serta memberikan contoh kasus sebagai penguat.
Dalil dari Al-Qur'an
Islam melarang segala bentuk pengambilan harta secara tidak sah. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku dengan saling ridha di antara kamu.”
(QS. An-Nisa: 29)
Ayat ini menegaskan bahwa harta seseorang tidak boleh diambil kecuali melalui jalan yang benar, seperti perdagangan yang berdasarkan kerelaan dan kesepakatan bersama.
Pandangan Ulama
Para ulama sepakat bahwa harta seorang muslim adalah amanah yang wajib dilindungi. Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyatakan:
"Mengambil harta seseorang tanpa izin atau tanpa sebab yang syar’i adalah tindakan yang zalim dan diharamkan."
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga menekankan bahwa kerelaan (رِضَى) pemilik adalah syarat mutlak dalam pengambilan harta.
Pendekatan Fikih
Dalam ilmu fikih, hukum ini masuk dalam kategori _muamalah_, yaitu interaksi sosial yang mencakup perdagangan, utang piutang, hibah, dan sejenisnya. Beberapa prinsip penting dalam fikih terkait masalah ini adalah:
1. Keridhaan Pemilik (رِضَى):
Segala bentuk transaksi harus dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Jika salah satu pihak merasa terpaksa, transaksi menjadi tidak sah.
2. Larangan Riba dan Tipu Daya:
Pengambilan harta melalui jalan riba, penipuan, atau manipulasi juga termasuk dalam kategori _akl al-batil_ (memakan harta secara batil).
3. Hak Kepemilikan:
Kepemilikan harta bersifat mutlak bagi pemiliknya sampai ia melepaskannya dengan ridha, misalnya melalui sedekah, hadiah, atau jual beli.
Contoh Kasus
Kasus 1: Mengambil Barang Teman Tanpa Izin
Seorang muslim mengambil barang milik temannya, seperti buku, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Meskipun ia berniat mengembalikannya, tindakan ini tetap haram karena tidak ada kerelaan dari pemiliknya.
Kasus 2: Memotong Gaji Karyawan Tanpa Sebab
Seorang pengusaha memotong gaji karyawannya tanpa alasan yang jelas dan tanpa kesepakatan sebelumnya. Perbuatan ini termasuk mengambil harta orang lain dengan cara batil, yang diharamkan dalam Islam.
Hikmah dan Pesan Moral
Islam sangat menjaga hak individu, termasuk hak kepemilikan harta. Dengan mematuhi prinsip ini, Wargi dapat menciptakan hubungan sosial yang harmonis dan terhindar dari dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa mengambil harta orang lain dengan niat untuk mengembalikannya, Allah akan membantunya mengembalikannya. Barang siapa mengambilnya dengan niat untuk merusaknya, maka Allah akan membinasakannya.”
(HR. Bukhari, No. 2387)
Kesimpulan
Wargi, menjaga hak-hak kepemilikan adalah bagian dari ketakwaan seorang muslim. Segala bentuk transaksi yang tidak didasari kerelaan dan kesepakatan adalah haram. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran ini, kita dapat menjaga keharmonisan dalam bermuamalah dan mendapatkan ridha Allah SWT.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi pengingat bagi kita semua. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Referensi:
1. Al-Qur’an, QS. An-Nisa: 29.
2. Hadis Riwayat Ahmad, No. 20172.
3. Hadis Riwayat Bukhari, No. 2387.
4. Ibnu Qudamah, _Al-Mughni_.
5. Imam Nawawi, _Syarh Shahih Muslim_.