Dua puluh tahun lalu, pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,3 skala richter mengguncang Aceh, memicu tsunami dahsyat yang merenggut sekitar 170.000 nyawa, termasuk kehidupan Martunis yang saat itu baru berusia tujuh tahun.
Martunis, 27 tahun, mengenang kembali peristiwa tersebut dengan jelas. “Saya sedang bermain sepak bola dengan teman-teman ketika tiba-tiba gempa terjadi. Saya langsung berlari pulang dan berkumpul dengan ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya. Kami saling berpelukan. Ketika lemari pakaian kami jatuh akibat gempa, ibu meminta saya untuk memanggil ayah yang saat itu sedang bekerja di tambak ikan agar segera pulang. Tak lama setelah itu, seseorang berteriak bahwa air sedang naik, dan kami segera berusaha masuk ke dalam mobil pick-up. Namun, air semakin dekat dan akhirnya keluarga saya serta saya tersapu oleh tsunami. Saya mencoba mengangkat adik saya yang tenggelam, tetapi kami terpisah. Saya pingsan beberapa kali, dan ketika sadar, saya sudah berada di atas kasur. Kasur itu mulai tenggelam, dan saya mencoba meraih benda lain untuk tetap terapung, seperti bangku sekolah, tetapi bangku itu juga tenggelam. Lalu, saya melihat sebuah kelapa dan memeluknya hingga akhirnya saya berhasil naik ke kasur lain. Tiba-tiba, saya terjebak di pohon.”
Tiga minggu setelah bencana, Martunis ditemukan di rawa dekat pantai oleh kru televisi Inggris yang sedang syuting dengan nelayan lokal. Ia bertahan hidup dengan meminum genangan air, mi instan, dan apa pun yang ditemukannya. Dalam keadaan dehidrasi, kelaparan, dan digigit nyamuk, Martunis akhirnya dibawa ke kantor Save the Children di mana staf telah menunggu untuk membantunya dan kemudian membawanya ke rumah sakit lokal untuk dirawat. Di rumah sakit, Save the Children berhasil menyatukan Martunis dengan ayah dan neneknya pada hari yang sama.
Ian Dovaston, mantan reporter berita dan bagian dari tim di Aceh yang menemukan Martunis di pantai, berkata, “Kami baru saja berada di Save the Children sehari sebelumnya, dan mereka menunjukkan kepada kami sistem luar biasa yang mereka bangun untuk melacak anggota keluarga. Kami menelepon lebih dulu, dan mereka sudah menunggu kami datang dengan mobil bersama Martunis, yang jelas membutuhkan bantuan medis. Dari panggilan kami, saya pikir mereka sudah mendapatkan cukup informasi untuk menghubungkan Martunis dengan ayahnya, yang mereka ketahui masih hidup dan berada di rumah sakit. Kami langsung pergi ke sana bersama teman-teman dari Save the Children dan menyaksikan serta merekam momen ketika sang ayah dipertemukan kembali dengan putranya.”
“Rasanya luar biasa, dan saya sangat bersyukur bisa bertemu kembali dengan ayah saya. Saya tidak sadar bahwa saya telah berada di laut selama 21 hari; rasanya hanya seperti 3 hari bagi saya. Ketika pertama kali bertemu ayah, saya langsung bertanya di mana ibu, kakak, dan adik saya. Ayah saya memberitahukan bahwa mereka sudah meninggal, dan saya menangis saat memeluknya,” ungkap Martunis yang mengenang momen tersebut dengan penuh emosional.
Tsunami yang terjadi pada 2004 dimulai dengan gempa bumi yang berpusat di Samudra Hindia, sekitar 250 km dari pantai barat Aceh. Gempa ini memicu gelombang laut setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan pesisir Aceh, Sumatera Utara, dan negara-negara di sekitar Samudra Hindia seperti Thailand, Sri Lanka, dan India, serta merenggut sekitar 230.000 nyawa. Tsunami ini juga dikenal sebagai salah satu gempa terdahsyat dalam sejarah modern, dengan episentrum yang dekat dengan lempeng Sunda.
Dalam merespons bencana ini, Save the Children bersama berbagai lembaga lainnya meluncurkan program Family Tracing and Reunification (FTR), yaitu program penelusuran dan penyatuan kembali keluarga yang dilengkapi dengan protokol ketat untuk memastikan bahwa mereka yang mengklaim sebagai kerabat benar-benar sah. Martunis adalah salah satu contoh keberhasilan dari program ini. Pada saat pelaksanaan program FTR, dinding-dinding dengan cepat dipenuhi foto dan selebaran tentang kerabat yang hilang, termasuk di kantor Save the Children di Aceh. Save the Children mengambil peran utama dalam mengoordinasikan pencarian anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka.
“Beberapa keluarga tetap berharap anak-anak mereka masih hidup dan terus mencari, sementara yang lain hanya mencari jasad anak-anak mereka. Kami juga menghubungi kerabat terdekat anak-anak tersebut, seperti kakek-nenek, paman, atau bibi. Jika tidak ada anggota keluarga terdekat yang tersedia, kami akan menghubungi kepala desa untuk membantu menemukan rumah yang aman bagi anak-anak itu. Beberapa anak ditempatkan di pesantren atau tempat penampungan ketika keluarga mereka sangat terdampak oleh tsunami,” cerita Al Fadhil, 45 tahun, seorang staf Save the Children yang mulai bekerja sebagai bagian dari respons pasca-tsunami pada Februari 2005. Saat ini, ia menjalankan yayasannya sendiri yaitu Yayasan Guetanyoe, yang sekarang menjadi salah satu mitra lokal Save the Children di Indonesia.
Pada tahun 2015, Martunis, yang ditemukan mengenakan jersey sepak bola Portugal, diterima di akademi sepak bola Sporting Lisbon. Namun, saat ini ia kembali ke Indonesia dan telah berhenti bermain sepak bola secara profesional. Kini, Martunis telah menikah dan memiliki seorang putri kecil.
“Ke depan, saya berharap bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat di bidang apa pun. Saya percaya bahwa rencana Tuhan selalu indah,” jelas Martunis.
Save the Children berhasil menjangkau lebih dari 140.000 orang, termasuk lebih dari 70.000 anak, melalui distribusi perlengkapan tempat tinggal, paket kebersihan, dan air bersih ke lebih dari 25.000 rumah tangga. Selain itu, Save the Children mendirikan 50 ruang ramah anak untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, membantu mereka memulihkan diri dari trauma, serta menyediakan ruang untuk bermain. Upaya ini dilengkapi dengan solusi jangka panjang, seperti pembangunan pusat pembelajaran dan penyediaan dukungan psikososial.
Di Indonesia dan di seluruh dunia, Save the Children berupaya memastikan terpenuhinya hak setiap anak untuk memulai hidup dengan sehat, mendapatkan kesempatan belajar, dan terlindungi dari bahaya. Bersama anak-anak, keluarga, komunitas, serta para pendukung, kami telah menciptakan dampak yang berkelanjutan bagi jutaan anak.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Nesya Tirtayana | Media & Digital Coordinator
Email: Nesya.tirtayana@savethechildren.org
Mobile: +62 811-1051-8736
Tentang Save the Children Indonesia
Save the Children percaya setiap anak berhak mendapatkan masa depan. Di Indonesia dan di seluruh dunia, Save the Children melakukan apa pun yang harus dilakukan—setiap hari dan saat krisis—agar anak-anak mendapatkan pemenuhan hak atas hidup yang sehat, kesempatan untuk belajar, dan perlindungan. Pakar kami pergi ke tempat yang paling sulit dijangkau di mana sangat sulit untuk menjadi anak-anak. Save the Children memastikan kebutuhan unik anak-anak terpenuhi dan suara mereka didengarkan. Bersama anak-anak, keluarga dan masyarakat, serta pendukung di seluruh dunia, kami mencapai hasil berkelanjutan untuk jutaan anak.
Dengan pengalaman lebih dari 100 tahun, kami adalah yang pertama dan terkemuka di dunia sebagai organisasi independen untuk pemenuhan hak anak—mengubah kehidupan dan masa depan kita bersama.