Setelah dilantik sebagai Bupati Cianjur, Rd. Astramanggala memindahkan ibu kota Cianjur dari kampung Pamoyanan ke lokasi pendopo bupati Cianjur sekarang yang dekat sekali dengan pangguyangan badak putih.
Menurut Bayu Surianingrat perpindahan ini rupanya bertalian erat dengan petunjuk yang diterima Rd. Wiramanggala ayahnya saat pindah dari Cibalagung ke Pamoyanan yaitu harus membangun kota yang tidak jauh dari pangguyangan badak putih.
Dalem Astramanggala juga yang pertama kali membangun pendopopo Bupati Cianjur yang bergaya Eropa dengan biayanya sendiri. Kekayaan Bupati Cianjur ini tidak terlepas dari kesuksesannya membuka perkebunan kopi hingga Cianjur menjadi sentral produsen kopi di Priangan.
Atas keberhasilan ini Gubernur Jenderal Belanda Van Swoll (1713- 1718) memberikan hadiah berupa perluasan wilayah Cianjur, yakni distrik Jampang yang berada di Cianjur Selatan. Saat diberikan, Jampang diperkirakan telah dihuni oleh 300 kepala keluarga.
Pemberian kedua berupa perluasan wilayah Cianjur diberikan diberikan juga oleh Gubernur jenderal Zwaardekroon (1718-1725) yaiutu Sagarakidul hingga perbatasan Banten. Tidak semua bupati di Priangan yang mendapat hadiah perluasaan wilayah, akan tetapi hanya para bupati yang sukses sebagai produsen kopi atau disebut bekende grooten koffij leverancier (penjual besar kopi terkenal).
Selain mendapat pemberian hadiah berupa perluasaan wilayah, Dalem Astramanggala juga mengajukan permintaan sendiri kepada VOC agar Kampung Baru (Bogor) dimasukan kedalam wilayah Cianjur yang akhirnya dikabulkan VOC tahun 1724.
Nantinya perluasan Cianjur terus terjadi saat diperintah oleh Bupati Cianjur Rd. Adipati Wira Tanu Datar VI (1776-1813) yakni Cikalong menjadi bagian dari Cianjur pada tahun 1788 sedangkan Cibalagung pada tahun 1789, Cibalagung dan Cikalong statusnya menjadi distrik dalam kabupaten Cianjur.
Sebetulnya VOC memperkenalkan tiga tanaman untuk dikembangkan di Priangan yakni Tarum, kapas dan kopi, dan yang kemudian berkembang dengan pesat di Cianjur adalah kopi. Apalagi kemudian penanaman kopi dirubah dari tanaman bebas menjadi tanaman paksa sejak tahun 1723. Dan keberhasilan Dalem Astramanggala sebagai produsen kopi membuatnya terus berupaya memperluas wilayah Cianjur, selain itu ia membangun benteng-benteng yang dihias dengan indah disetiap perbatasan.
Tidak hanya itu, Dalem Astramanggala meminta kepada VOC agar didirinya mendapat nama gelar yang dalam bahasa Belanda “ Pangerang Aria Depatty Amangcoerat Indator “ atau Pangeran Aria Adipati Amangkurat Di Datar. Nampaknya Astramanggala mensejajarkan dirinya dengan Sunan Amangkurat Raja Mataram yang menguasai Jawa. Namun sayangnya VOC hanya mengabulkan nama Datar dalam pengajuan itu.
Hal tersebut bisa saja karena kekhawatiran Belanda sebab apabila Dalem Astramanggala disetujui menggunakan nama baru, suatu saat mungkin saja Dalem Astramanggala terkesan ingin mendirikan negara sendiri, dan berontak kepada Belanda. Apalagi bupati Cianjur ini tidak henti-hentinya meminta perluasan wilayah dan membangun benteng benteng pertahanan.
Kejayaan Cianjur masa pemerintahan Dalem Astramanggala dilukiskan Rd. Syarifah Didoh dalam diktat Sejarah Cianjur nya seperti ini :
"Kacarioskeun dayeuh Cianjur tambih lami tambih rame langkung seueur jalmi- jalmi nu dongkap ti jauhna ngadon bubuara. Nya kitu deui para menakna estu perlente, baleger iasa sasauran, kana sagala rupi kapetolanana. Dugi ka kaceluk ka awun- awun, kawentar kamana-mana, sanes wungkul dina bag- bagan agama, oge sagala kasenian teu kakantun.
Dugi ka Cianjur teh kasohor , gaos ? ngaos Cianjur, barjanji ? barjanji Cianjur, lentong ? lentongna Cianjur, mamaos ? mamaos Cianjur, Silat ? silat Cianjur. Malih teu kakantun aya paribasa : mun kasep ? kasep Cianjur, mun geulis ? geulis Cianjur, mun mancing ? mancing Cianjur, mun langlayangan ? langlayang Cianjur.Pantes kukituna teh palinter ku ilmu, arageung pangaruh margi aya kokocoran menak ti gunung Gede."
(Semakin hari, Cianjur semakin ramai. Para pendatang dari mana mana terus berdatangan ke Cianjur mencari penghidupan. Rakyat Cianjur dan pejabatnya hidup makmur dan orang Cianjur terkenal dimana mana dengan berbagai ciri khasnya, gaya bicaranya gaya Cianjur, baca Al Qur annya gaya Cianjur, tembangnya tembang Cianjur, silatnya silat Cianjur, gantengnya khas Cianjur juga kecantikannya mojangnya, mojang Cianjur. Wajar memang seperti itu, karena memiliki darah turunan pembesar).
Kabupaten Cianjur pada masa Dalem Astramanggala juga banyak dikunjungi warga dari luar Cianjur yang akhirnya berpengaruh pada penamaan nama tempat seperti kampung Rancabali yang banyak dihuni oleh warga dari Bali. Para pembuat gosali, dan pengrajin alat penanak nasi dari bahan Se- eng tembaga umumnya bertempat tinggal dikampung Sayang Semper.
Demikian juga penamaan kampung lainnya yang hingga kini masih dikenal seperti kampung Bojong Herang yang penamaannya berasal dari sebuah mata air yang bernama Cimuncang atau Sumur Bandung yang airnya bening dan tidak pernah surut kendati dimusim kemarau.
Pada tahun 1726 Dalem Astramanggala tewas dibunuh oleh seorang petani asal Citeureup dengan senjata bernama condre, maka seusai dikebumikan bupati Cianjur pelopor pembangun kota Cianjur lebih ini dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre.
Salah satu versi dibalik kematiannya adalah karena ia bermaksud menikahi seorang gadis asal Cikembar bernama Apun Gencay yang tanpa ia ketahui ternyata sudah memiliki tunangan. Sang tunangan gadis inilah yang menikam Dalem Astramanggala dengan condre.
Namun begitu bisa saja pembunuhan Dalem Astramanggala itu kemungkinan persengkolan jahat Belanda, yang merasa khawatir terhadap upaya Dalem Astramanggala yang terus membangun Cianjur dan mensejajarkan diri dengan Sultan Mataram. Belanda khawatir Astramanggala akan berontak, seperti halnya pemberontakan Raden Haji Prawatasari.
Dalem Astramanggala meninggal dalam usia 40 tahun, ia meninggalkan 7 putra, kedudukannya sebagai bupati Cianjur digantikan oleh Rd. Sabirudin putra sulungnya.
Kisah kematian Dalem Astramanggala dikisahkan Bayu Suriangrat dengan mengutip keterangan dari Babad Cianjur yang disusun Bupati Cianjur Dalem Pancaniti sbb :
Hiji waktos, Wira Tanu III ngadangu yen di Cikembar aya istri geulis kawanti wanti sarta pantes pisan upami dipigarwa. Eta istri teh wastana Apun Gencay. Apun Gencay disaur teu lami dongkap. Saleresna Apun Gencay teh parantos papacangan ka urang Citeureup, kabupaten Bogor. Papacangan Apun Gencay nganteur ka dayeuh. Wira Tanu III nuju aya dipaseban Pamengkang. Dinten eta Kemis tabuh 4 sonten, kalaresan nuju taya sasaha.
(Semakin hari, Cianjur semakin ramai. Para pendatang dari mana mana terus berdatangan ke Cianjur mencari penghidupan. Rakyat Cianjur dan pejabatnya hidup makmur dan orang Cianjur terkenal dimana mana dengan berbagai ciri khasnya, gaya bicaranya gaya Cianjur, baca Al Qur annya gaya Cianjur, tembangnya tembang Cianjur, silatnya silat Cianjur, gantengnya khas Cianjur juga kecantikannya mojangnya, mojang Cianjur. Wajar memang seperti itu, karena memiliki darah turunan pembesar).
Kabupaten Cianjur pada masa Dalem Astramanggala juga banyak dikunjungi warga dari luar Cianjur yang akhirnya berpengaruh pada penamaan nama tempat seperti kampung Rancabali yang banyak dihuni oleh warga dari Bali. Para pembuat gosali, dan pengrajin alat penanak nasi dari bahan Se- eng tembaga umumnya bertempat tinggal dikampung Sayang Semper.
Demikian juga penamaan kampung lainnya yang hingga kini masih dikenal seperti kampung Bojong Herang yang penamaannya berasal dari sebuah mata air yang bernama Cimuncang atau Sumur Bandung yang airnya bening dan tidak pernah surut kendati dimusim kemarau.
Pada tahun 1726 Dalem Astramanggala tewas dibunuh oleh seorang petani asal Citeureup dengan senjata bernama condre, maka seusai dikebumikan bupati Cianjur pelopor pembangun kota Cianjur lebih ini dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre.
Salah satu versi dibalik kematiannya adalah karena ia bermaksud menikahi seorang gadis asal Cikembar bernama Apun Gencay yang tanpa ia ketahui ternyata sudah memiliki tunangan. Sang tunangan gadis inilah yang menikam Dalem Astramanggala dengan condre.
Namun begitu bisa saja pembunuhan Dalem Astramanggala itu kemungkinan persengkolan jahat Belanda, yang merasa khawatir terhadap upaya Dalem Astramanggala yang terus membangun Cianjur dan mensejajarkan diri dengan Sultan Mataram. Belanda khawatir Astramanggala akan berontak, seperti halnya pemberontakan Raden Haji Prawatasari.
Dalem Astramanggala meninggal dalam usia 40 tahun, ia meninggalkan 7 putra, kedudukannya sebagai bupati Cianjur digantikan oleh Rd. Sabirudin putra sulungnya.
Kisah kematian Dalem Astramanggala dikisahkan Bayu Suriangrat dengan mengutip keterangan dari Babad Cianjur yang disusun Bupati Cianjur Dalem Pancaniti sbb :
Hiji waktos, Wira Tanu III ngadangu yen di Cikembar aya istri geulis kawanti wanti sarta pantes pisan upami dipigarwa. Eta istri teh wastana Apun Gencay. Apun Gencay disaur teu lami dongkap. Saleresna Apun Gencay teh parantos papacangan ka urang Citeureup, kabupaten Bogor. Papacangan Apun Gencay nganteur ka dayeuh. Wira Tanu III nuju aya dipaseban Pamengkang. Dinten eta Kemis tabuh 4 sonten, kalaresan nuju taya sasaha.
Hulubalang sareng punakawan oge suwung, nu aya mung Mas Purwa payuneunana di handap. Teu lami dongkap piwarangan ti Cikembar, Apun Gencay sareng papacanganana. Piwarangan mah ti payun maksadna wawartos ka Wira Tanu III. Wira Tanu III sasauran : “ Sina kadieu awewe teh, manehna jung we balik deui. “. Piwarangan teh henteu nerangkeun yen Apun Gencay gaduh papacangan.
(Suatu ketika Wira Tanu III mendengar khabar bahwa di Cikembar ada seorang gadis cantik jelita, dan cocok bila dijadikan istri. Gadis cantik tersebut bernama Apun Gencay. Dalem Wira Tanu III tidak mengetahui bahwa gadis tersebut sudah bertunangan dengan lelaki asal Citeureup Bogor. Maka pada suatu hari Apun Gencay dipanggil ke Pendopo Cianjur. Apun Gencay pun datang ke Pendopo, saat itu hari Kamis sore hari bakda Ashar. Pendopo nampak lengang, para hulu balang tidak ada, hanya ada Mas Purwa kakak Wira Tanu beda ibu. Apun Gencay didampingi seorang pejabat pengantar dan tunangannyapun turut serta. Pejabat pengantar lalu menghadap Wira Tanu III menyatakan bahwa Apun Gencay sudah hadir dipendopo. Lalu Wira Tanu memerintahkan Apun Gencay dibawa kehadapannya. Pejabat Pengantar tidak memberitahukan kepada Bupati Wira Tanu III bahwa tunangan Apun Gencay turut serta.)
Apun gencay kalebet disarengan ku papacangannana. Wira Tanu III sasauran deui, “ Kadieu !!” . Apun Gencay nyaketan, papacangan Apun Gencay oge ngiring nyaketan. Wira Tanu III nyangki yen manehna bade sasalaman, atuh anjeunna nyodorkeun panangannana tapi teu ningali ka manehna da neuteup bae ka Apun Gencay. Teu antaparah deui, papacangan Apun Gencay neuweuk Wira Tanu III, palebah patuanganana pisan ku condre, nanging henteu tatu. Anjeunna sasauran ka Mas Purwa “ Naha teu katenjo eta jelema nubles ? “. Saleresna ku Mas Purwa katingali ngan anjeunna bati colohok mata simeuteun. Mas Purwa teu tega ninggal saderek teras nyuhunkeun dihapunten.
(Suatu ketika Wira Tanu III mendengar khabar bahwa di Cikembar ada seorang gadis cantik jelita, dan cocok bila dijadikan istri. Gadis cantik tersebut bernama Apun Gencay. Dalem Wira Tanu III tidak mengetahui bahwa gadis tersebut sudah bertunangan dengan lelaki asal Citeureup Bogor. Maka pada suatu hari Apun Gencay dipanggil ke Pendopo Cianjur. Apun Gencay pun datang ke Pendopo, saat itu hari Kamis sore hari bakda Ashar. Pendopo nampak lengang, para hulu balang tidak ada, hanya ada Mas Purwa kakak Wira Tanu beda ibu. Apun Gencay didampingi seorang pejabat pengantar dan tunangannyapun turut serta. Pejabat pengantar lalu menghadap Wira Tanu III menyatakan bahwa Apun Gencay sudah hadir dipendopo. Lalu Wira Tanu memerintahkan Apun Gencay dibawa kehadapannya. Pejabat Pengantar tidak memberitahukan kepada Bupati Wira Tanu III bahwa tunangan Apun Gencay turut serta.)
Apun gencay kalebet disarengan ku papacangannana. Wira Tanu III sasauran deui, “ Kadieu !!” . Apun Gencay nyaketan, papacangan Apun Gencay oge ngiring nyaketan. Wira Tanu III nyangki yen manehna bade sasalaman, atuh anjeunna nyodorkeun panangannana tapi teu ningali ka manehna da neuteup bae ka Apun Gencay. Teu antaparah deui, papacangan Apun Gencay neuweuk Wira Tanu III, palebah patuanganana pisan ku condre, nanging henteu tatu. Anjeunna sasauran ka Mas Purwa “ Naha teu katenjo eta jelema nubles ? “. Saleresna ku Mas Purwa katingali ngan anjeunna bati colohok mata simeuteun. Mas Purwa teu tega ninggal saderek teras nyuhunkeun dihapunten.
Papacangan Apun Gencay newek deui katilu kalina, lajeng lumpat, condre dicecekel. Mas Purwa ngudag, barang kaudag Mas Purwa ditubles bari lumpat, keuna halisna ngan teu tatu. Sababaraha kali Mas Purwa ditublesan keukeuh teu teurak da anjeunna weduk. Ahirna papacangan Apun Gencay katewak ku Mas Purwa, pakarangana direbut, lajeng ditigas beuheungna dugika hulu misah jeung badan.
(Ketika Apun Gencay menghadap Wira Tanu III, mata Dalem tertuju kepada Apun Gencay ia sama sekali tidak menghiraukan tunangan Apun Gencay yang menghampirinya, dikira Dalem sang tunangan Apun akan mengakalnya bersalaman. Namun tanpa diduga sedikitpun, tunangan Apun mengeluarkan senjata tajam Condre dan ditusukkan keperut Dalem Wira Tanu III. Darahpun mengalir dari perut Dalem hingga ususnya terburai. Mengetahui kejadian yang begitu tiba-tiba Mas Purwa terkesima dan kaget, lalu mengejar tunangan Apun. Mas Purwa beberapa kali ditusuk Condre namun tidak terluka karena kebal. Condre lalu dirampas Mas Purwa, lalu ditebaskan ke leher tunangan Apun hingga terpisah dari badannya. Tunangan Apun tewas seketika)
Enggal para wargi diwartosan ku Mas Purwa, sadayana sarumping bari raeng narangis. Wira Tanu III calik nyarande dina katil, anjeunna teu emut. Lebetanana kaluar tina patuanganana, getih baloboran teu liren- liren, lajeng dicandak ka padaleman. Ajeunna pupus tabuh 7 wengi, anu nelasan, papacangan Apun Gencay tea disered ka alun-alun teras dicacag. Nya tiharita Wira Tanu III disebut Dalem Dicondre. Para sepuh sasauran kieu ; “ Darengekeun barudak, incu, buyut, jeung kabeh katurunan, maraneh poma ulah nikah ka urang Cikembar, jeung maneh salawasna kudu mawa pakarang condre, “. Ti harita nepika ayeuna eta saur sepuh teh diturut. Geus 6 bupati jeneng di Cianjur. Ari istri anu janten marga eta kajadian, teu lami katarajang udur cacar, teras maot. Raden Aria Dicondre digentos ku Raden Sabirudin putra cikalna. Anjeuna pisan anu ngawitan ngangge gelar Adipati. (Ieu teh cariosan Kanjeng Pancaniti, Raden Adipati Kusumaningrat, ku anjeun).
(Setelah kejadian itu, seluruh keluarga dipanggil agar berkumpul dihadapan Dalem Wira Tanu III yang tidak sadarkan diri karena luka parah dengan usus yang terburai dan pendarahan terus menerus. Bupati Cianjur Wira Tanu III meninggal bakda Isya, sejak kematiannya ia dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre, karena gugur ditusuk senjata tajam Condre. Para sesepuh lalu berwasiat agar seluruh keturunan Dalem Cikundul tidak menikah dengan keturunan Cikembar Sukabumi dan seluruh keturunan Dalem Cikundul / Dalem Dicondre agar selalu membawa senjata tajam Cobdre sebagai alat jaga diri. Tidak lama berselang Apun Gencay yang kembali ke Cikembar meninggal dunia setelah sebelumnya terkena penyakit cacar. Sedangkan kedudukan Bupati Cianjur digantikan Raden Sabirudin putra sulung Dalem Dicondre. Dalem Sabirudin setelah dilantik sebagai bupati Cianjur ia menggunakan gelar Raden Aria Adipati Wira Tanu Datar VI, Bupati Cianjur pertama yang menggunakan pangkat Adipati dan menambahkan nama Datar).
(Ketika Apun Gencay menghadap Wira Tanu III, mata Dalem tertuju kepada Apun Gencay ia sama sekali tidak menghiraukan tunangan Apun Gencay yang menghampirinya, dikira Dalem sang tunangan Apun akan mengakalnya bersalaman. Namun tanpa diduga sedikitpun, tunangan Apun mengeluarkan senjata tajam Condre dan ditusukkan keperut Dalem Wira Tanu III. Darahpun mengalir dari perut Dalem hingga ususnya terburai. Mengetahui kejadian yang begitu tiba-tiba Mas Purwa terkesima dan kaget, lalu mengejar tunangan Apun. Mas Purwa beberapa kali ditusuk Condre namun tidak terluka karena kebal. Condre lalu dirampas Mas Purwa, lalu ditebaskan ke leher tunangan Apun hingga terpisah dari badannya. Tunangan Apun tewas seketika)
Enggal para wargi diwartosan ku Mas Purwa, sadayana sarumping bari raeng narangis. Wira Tanu III calik nyarande dina katil, anjeunna teu emut. Lebetanana kaluar tina patuanganana, getih baloboran teu liren- liren, lajeng dicandak ka padaleman. Ajeunna pupus tabuh 7 wengi, anu nelasan, papacangan Apun Gencay tea disered ka alun-alun teras dicacag. Nya tiharita Wira Tanu III disebut Dalem Dicondre. Para sepuh sasauran kieu ; “ Darengekeun barudak, incu, buyut, jeung kabeh katurunan, maraneh poma ulah nikah ka urang Cikembar, jeung maneh salawasna kudu mawa pakarang condre, “. Ti harita nepika ayeuna eta saur sepuh teh diturut. Geus 6 bupati jeneng di Cianjur. Ari istri anu janten marga eta kajadian, teu lami katarajang udur cacar, teras maot. Raden Aria Dicondre digentos ku Raden Sabirudin putra cikalna. Anjeuna pisan anu ngawitan ngangge gelar Adipati. (Ieu teh cariosan Kanjeng Pancaniti, Raden Adipati Kusumaningrat, ku anjeun).
(Setelah kejadian itu, seluruh keluarga dipanggil agar berkumpul dihadapan Dalem Wira Tanu III yang tidak sadarkan diri karena luka parah dengan usus yang terburai dan pendarahan terus menerus. Bupati Cianjur Wira Tanu III meninggal bakda Isya, sejak kematiannya ia dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre, karena gugur ditusuk senjata tajam Condre. Para sesepuh lalu berwasiat agar seluruh keturunan Dalem Cikundul tidak menikah dengan keturunan Cikembar Sukabumi dan seluruh keturunan Dalem Cikundul / Dalem Dicondre agar selalu membawa senjata tajam Cobdre sebagai alat jaga diri. Tidak lama berselang Apun Gencay yang kembali ke Cikembar meninggal dunia setelah sebelumnya terkena penyakit cacar. Sedangkan kedudukan Bupati Cianjur digantikan Raden Sabirudin putra sulung Dalem Dicondre. Dalem Sabirudin setelah dilantik sebagai bupati Cianjur ia menggunakan gelar Raden Aria Adipati Wira Tanu Datar VI, Bupati Cianjur pertama yang menggunakan pangkat Adipati dan menambahkan nama Datar).