-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Terungkap! Dugaan ‘Mark Up’ Biaya Study Tour, Sekolah Diduga Dapat Untung Besar

Selasa, 25 Februari 2025 | 00.34 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-01T17:41:32Z


Di tengah polemik kebijakan larangan study tour bagi sekolah, fakta mengejutkan mencuat terkait dugaan bisnis berkedok kegiatan pelajar. Sejumlah pengusaha travel di Cianjur mengungkap adanya praktik ‘mark up’ atau kenaikan harga yang tidak wajar dalam biaya study tour per siswa.

Salah seorang pengusaha travel yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa biaya study tour yang dibebankan kepada siswa jauh lebih tinggi dari harga riil. Ia mengungkapkan rincian biaya asli untuk perjalanan study tour ke Yogyakarta dan Bali, yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan tarif yang sering dipatok pihak sekolah.


Dugaan Selisih Keuntungan Mencapai Ratusan Juta

Menurut pengusaha travel tersebut, perjalanan study tour dari Cianjur ke Yogyakarta seharusnya hanya memerlukan biaya Rp1,35 juta hingga Rp1,65 juta per siswa. Dengan harga tersebut, fasilitas yang diperoleh sudah mencakup hotel berbintang, tiket wisata, serta makan tiga kali sehari.

"Rinciannya, biaya bus hanya Rp500 ribu, hotel berbintang 1 atau 2 sekitar Rp150 ribu dan untuk hotel bintang 3 atau 4 sekitar Rp300 ribu. Biaya makan Rp300 ribu dan tiket wisata Rp300 ribu. Jadi, harga seharusnya hanya berkisar Rp1,35 juta hingga Rp1,65 juta. Tarif yang wajar berkisar Rp1,5 juta hingga Rp1,7 juta, tidak sampai Rp2 juta atau lebih," ungkapnya, Selasa (25/2/2025).

Hal serupa terjadi pada study tour ke Bali. Untuk perjalanan selama satu minggu dengan dua hari satu malam di Bali, biaya riilnya hanya sekitar Rp2,4 juta per siswa. Angka ini sudah mencakup sewa bus, penginapan di hotel berbintang, konsumsi, serta tiket wisata.

"Biaya sewa bus Rp1 juta, hotel Rp450 ribu, konsumsi Rp600 ribu, dan tiket wisata di Bali Rp500 ribu. Dengan total Rp2,4 juta, fasilitas yang didapat sudah tergolong mewah. Jika ditambah keuntungan wajar bagi travel, harga maksimalnya sekitar Rp2,8 juta. Tidak perlu sampai Rp3 juta atau lebih," paparnya.

Namun, ia mengungkap bahwa beberapa sekolah justru memasang tarif jauh lebih tinggi. Untuk perjalanan ke Yogyakarta, sekolah sering mematok harga Rp2,5 juta per siswa, padahal harga maksimalnya hanya Rp1,7 juta. Sedangkan untuk study tour ke Bali, tarif yang dikenakan bisa mencapai Rp3,5 juta per siswa, meski biaya riilnya hanya Rp2,8 juta.

Dari selisih tersebut, keuntungan yang didapat bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sebagai contoh, jika ada 361 siswa yang mengikuti study tour ke Bali, dengan selisih Rp700 ribu per siswa, maka total keuntungan yang diduga tidak wajar bisa mencapai Rp252 juta lebih.

"Selisih kelebihannya sangat besar. Jadi wajar jika study tour ini diduga menjadi bisnis berkedok kegiatan siswa," tegasnya.


Oknum Sekolah dan Travel Diduga Bermain Mata

Hal senada disampaikan oleh pengusaha travel lainnya di Cianjur. Ia menyoroti adanya praktik kerja sama antara oknum sekolah dan pihak travel untuk mendapatkan keuntungan lebih dari kegiatan study tour.

"Banyak sekolah yang bekerja sama dengan travel tertentu demi keuntungan besar. Travel yang bisa diajak kerja sama biasanya akan diprioritaskan oleh sekolah, bahkan jika tarifnya lebih mahal. Ini yang harus dievaluasi," ujarnya.

Ia pun berharap bahwa kebijakan larangan study tour dari Gubernur Jawa Barat bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem.

"Larangan ini bisa jadi bahan evaluasi bagi semua pihak—baik pemerintah, sekolah, maupun pengusaha travel. Jangan sampai kegiatan yang seharusnya bermanfaat justru dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi," katanya.


Gubernur Jabar Larang Study Tour, Sekolah Harus Patuh

Sementara itu, Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan VI Jawa Barat, Nonong Winarni, menegaskan bahwa kebijakan larangan study tour dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bukan sekadar imbauan, tetapi instruksi yang harus dipatuhi.

"Perintah dari Gubernur soal larangan study tour sudah kami sampaikan kepada SMA dan SMK di Kabupaten Cianjur. Sekolah harus mempelajari dan menjalankan aturan ini," ujarnya, Selasa (25/2/2025).

Bagi sekolah yang sudah lebih dulu merencanakan study tour sebelum instruksi dikeluarkan, pihaknya masih menunggu kebijakan lebih lanjut. Namun, ia menegaskan bahwa ke depan tidak boleh ada lagi sekolah yang mengadakan kegiatan tersebut.

"Kami mendukung penuh kebijakan Gubernur dan akan melaksanakan seluruh ketentuan yang diperintahkan. Jika ada sekolah yang tetap melaksanakan study tour setelah larangan diberlakukan, maka akan ada pendalaman lebih lanjut oleh inspektorat dan pihak terkait," tegasnya.


Evaluasi dan Transparansi Diperlukan

Mencuatnya dugaan praktik ‘mark up’ dalam biaya study tour semakin memperkuat alasan di balik kebijakan larangan ini. Ke depan, perlu adanya sistem yang lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan kegiatan sekolah agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama para siswa dan orang tua.

Apakah larangan study tour ini akan benar-benar menghentikan praktik bisnis berkedok kegiatan pendidikan? Ataukah hanya akan melahirkan cara baru untuk tetap menjalankan bisnis ini dengan kedok lain? Waktu yang akan menjawab.
×
Berita Terbaru Update