(RAA. Kusumaningrat / Dalem Pancaniti, foto dari Buku Sejarah Cianjur Bayu Surianingrat) |
Tanggal 14 Oktober 1834 Raden Hasan dilantik menjadi Bupati Cianjur dengan gelar Raden Aria Adipati Kusumaningrat. Bupati Cianjur ini gemar sekali tinggal dibagian paviliun Pendopo Kab. Cianjur yang saat itu disebut Pancaniti, oleh karena itu ia disebut juga Kanjeng Dalem Pancaniti. Masa kecil Dalem Pancaniti dihabiskan dengan bersekolah dan tinggal di keluarga Belanda, maka tidak heran bupati Cianjur ini menguasai beberapa bahasa asing Inggris dan Belanda.
Selain itu Aom Hasan ini menimba ilmu agama islam sebagai santri dipesantren Ciharashas Cilaku Cianjur, maka wajar saja ia memiliki sifat yang alim dan taat beragama. Hal tersebut dibuktikan saat dirinya mengusir seorang pembesar Belanda dari Cianjur, pejabat Belanda itu kedapatan menggelar pesta dan minum-minuman keras di kediaman Residen sekitar Istana Presiden Cipanas sekarang.
Selain itu, Aom Hasan ketika remaja pernah menghukum dirinya sendiri karena dianggap telah berbuat salah kepada ayahnya Dalem Prawiradireja I. Entah kesalahan apa yang telah dilakukan Aom Hasan, ia kemudian tidur ditangga masuk ke pendopo, setiap orang yang masuk kedalam pendopo diminta melangkahi dan meludahinya.
Mamaos Cianjuran
Mengupas sejarah Dalem Pancaniti tidak bisa lepas dari perannya menyempurnakan tembang Sunda Cianjuran atau Mamaos. Dibawah ini diceritakan tentang proses perjalanan seni Mamaos Cianjuran berdasarkan diktat berbahasa Sunda yang disusun tokoh Mamaos Rd. A. Hanafiah Wiradiredja / Gan Emed, berjudul “ Sajarah Mamaos Cianjuran”.
Mamaos Cianjuran
Mengupas sejarah Dalem Pancaniti tidak bisa lepas dari perannya menyempurnakan tembang Sunda Cianjuran atau Mamaos. Dibawah ini diceritakan tentang proses perjalanan seni Mamaos Cianjuran berdasarkan diktat berbahasa Sunda yang disusun tokoh Mamaos Rd. A. Hanafiah Wiradiredja / Gan Emed, berjudul “ Sajarah Mamaos Cianjuran”.
Gan Emed menjelaskan bahwa, Mamaos Cianjuran berawal dari kesenian Sunda papantunan yang pada masa Bupati Cianjur Rd. Aria Wira Tanu datar V / Dalem Muhyidin begitu disukai kalangan Pendopo Cianjur. Dari 17 putra-putri Dalem Muhyidin hanya dua orang yang paling mendalami seni ini yakni Rd. Aria Wasitareja / Dalem Seni dan Nyi Rd. Tanjungnagara, dua tokoh ini memadukan papantunan, Jejempalangan dan dedegungan hingga tercipta Mamaos. Sedangkan isi dari Papantungan umumnya tentang seputar kisah raja- raja Pajajaran terutama Prabu Siliwangi.
Sepeninggalan Rd. Aria Wasitareja, seni Mamaos dilajutkan Dalem Pancaniti Bupati Cianjur bergelar Rd. Aria Adipati Kusumaningrat. Dalem Pancaniti tidak lain adalah masih terbilang cucu dari Dalem Seni / Rd. Aria Wasitareja karena Dalem Pancaniti adalah cucu dari Ny. Rd. Tanjungnagara putri Dalem Enoh. Menurut Rd. Hanafiah Wiradireja, sosok Dalem Pancaniti tidak sembarangan dalam menciptakan tembang Mamaos.
Sepeninggalan Rd. Aria Wasitareja, seni Mamaos dilajutkan Dalem Pancaniti Bupati Cianjur bergelar Rd. Aria Adipati Kusumaningrat. Dalem Pancaniti tidak lain adalah masih terbilang cucu dari Dalem Seni / Rd. Aria Wasitareja karena Dalem Pancaniti adalah cucu dari Ny. Rd. Tanjungnagara putri Dalem Enoh. Menurut Rd. Hanafiah Wiradireja, sosok Dalem Pancaniti tidak sembarangan dalam menciptakan tembang Mamaos.
Dalem Pancaniti kerap berpuasa sunat pada siang hari dan sholat tahajud beberapa malam bila sedang mencari ilham untuk menciptakan tembang. Dan agar aktifitasnya mencipta tembang tidak terganggu, Bupati Cianjur ini kerap tinggal di paviliun Pendopo Cianjur yang disebut Pancaniti oleh sebab itu ia lebih dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti.
Setelah mendapat ilham, Dalem Pancaniti biasanya langsung menuju ruangan tempat penyimpanan gamelan dan mecari nada dengan menggunakan kecapi kesayangan yang dinamainya “Guling Putih “. Proses mencari nada ini disebut “gagamelan”. Setelah proses “gagamelan” usai Bupati Cianjur ini memanggil adik-adiknya yang juga seniman Mamaos yakni : Rd. Ardinegara, Rd. Habib Kusumaadinegara dan Rd. Suriakusumah.
Setelah mendapat ilham, Dalem Pancaniti biasanya langsung menuju ruangan tempat penyimpanan gamelan dan mecari nada dengan menggunakan kecapi kesayangan yang dinamainya “Guling Putih “. Proses mencari nada ini disebut “gagamelan”. Setelah proses “gagamelan” usai Bupati Cianjur ini memanggil adik-adiknya yang juga seniman Mamaos yakni : Rd. Ardinegara, Rd. Habib Kusumaadinegara dan Rd. Suriakusumah.
Kakak beradik seniman Mamaos ini berupaya saling menyempurnakan tembang ciptaan Dalem Pancaniti hingga mendapatkan “wirahma” tembang. Setelah semuanya sepakat, tembang tersebut kemudian disampaikan kepada sauadar-saudara yang masih dilingkungan keluarga bupati Cianjur dan selalu dirahasiahkan, tidak dipublikasikan keluar pendopo. Menurut catatan Hanafiah Wiradireja, dari sekian banyak tembang ciptaan Dalem Pancaniti, hanya 28 tembang yang dapat dicatat dan didokumentasiakan.
Dalem Pancaniti juga begitu menyayangi kecapi si Guling Putih dan untuk kacapinya ini ia membuat rumpaka tembang :
Guling putih mah kawatna matak tibelat, tutup kacapina matak marungkawut. Inangna sok mawa dangiang. Liangna matak ngahudang rasa, pureutna matak ninenung, ari kelungna matak kaduyung.
Salah satu tembang ciptaan Dalem Pancaniti berjudul Daweung Menak di Cianjur sebabagi berikut :
Ratu diriung ku gelung, menak digendeng nu geulis, ku pinareup dipeselan, wastuning menak sajati, dasar teureuh Pajajaran. Burudul menak ti kidul kampungan para bupati, candakna parabot wayang, ketuk kenong gendang leutik, diketukan digoongan, keset suling jeung karinding. Jalma sing emut kapayun, engke dina poe ahir, urang bakal dipariksa, lamun urang teu sayagi Iman Islam nu sampurna pibekeleun urang balik. Keur urang jawab dikubur, ibadah sing ati-ati, kana solay ulah tinggal, bisi kaduhung diahir, saha anu bakal bela, kajabi amal nu soleh.
Dalam buku “Sejarah Cianjur, 7 Tokoh Cianjur” yang disusun Dr. R.M. Mulyadi SS,M.Hum dari Universitas Padjadjaran Bandung diungkapkan bahwa Dalem Pancaniti adalah Bupati Cianjur yang berintelektual tinggi, ia pernah membuat Kamus Sunda – Melayu, serta menulis Sejarah Cianjur. Kamus Sunda-Melayu yang ditulisnya dibagi dalam beberapa tingkatan yakni Sunda Lemes, Sunda Sedeng dan Sunda Kasar.
Dalem Pancaniti juga begitu menyayangi kecapi si Guling Putih dan untuk kacapinya ini ia membuat rumpaka tembang :
Guling putih mah kawatna matak tibelat, tutup kacapina matak marungkawut. Inangna sok mawa dangiang. Liangna matak ngahudang rasa, pureutna matak ninenung, ari kelungna matak kaduyung.
Salah satu tembang ciptaan Dalem Pancaniti berjudul Daweung Menak di Cianjur sebabagi berikut :
Ratu diriung ku gelung, menak digendeng nu geulis, ku pinareup dipeselan, wastuning menak sajati, dasar teureuh Pajajaran. Burudul menak ti kidul kampungan para bupati, candakna parabot wayang, ketuk kenong gendang leutik, diketukan digoongan, keset suling jeung karinding. Jalma sing emut kapayun, engke dina poe ahir, urang bakal dipariksa, lamun urang teu sayagi Iman Islam nu sampurna pibekeleun urang balik. Keur urang jawab dikubur, ibadah sing ati-ati, kana solay ulah tinggal, bisi kaduhung diahir, saha anu bakal bela, kajabi amal nu soleh.
Dalam buku “Sejarah Cianjur, 7 Tokoh Cianjur” yang disusun Dr. R.M. Mulyadi SS,M.Hum dari Universitas Padjadjaran Bandung diungkapkan bahwa Dalem Pancaniti adalah Bupati Cianjur yang berintelektual tinggi, ia pernah membuat Kamus Sunda – Melayu, serta menulis Sejarah Cianjur. Kamus Sunda-Melayu yang ditulisnya dibagi dalam beberapa tingkatan yakni Sunda Lemes, Sunda Sedeng dan Sunda Kasar.
Bupati Cianjur yang juga pernah menyandang gelar Rd. Aria Adipati Suria Adinata ini adalah bupati yang berhasil memperoleh gelar RAA (Raden Aria Adipati) dari kolonial karena keberhasilannya membangun Cianjur dan mensejahterakan rakyatnya.
Dalem Pancaniti memiliki ruangan seni yang didalamnya berisi beberapa perangkat gamelan seperti degung, pelod salendro, kacapi dan saron. Ia juga menciptakan tembang lainnya seperti Degung Palangon, Degung Kurawul, Degung Wabango, Layar Putri, Bala Genjat, dsb. Saat mencipta tembang, tidak seorangpun yang boleh mengganggunya, apabila selesai Dalem Pancaniti memberikan kode berupa “dehem” kepada pembantunya yang berjaga diluar ruangan.
Dalem Pancaniti memiliki ruangan seni yang didalamnya berisi beberapa perangkat gamelan seperti degung, pelod salendro, kacapi dan saron. Ia juga menciptakan tembang lainnya seperti Degung Palangon, Degung Kurawul, Degung Wabango, Layar Putri, Bala Genjat, dsb. Saat mencipta tembang, tidak seorangpun yang boleh mengganggunya, apabila selesai Dalem Pancaniti memberikan kode berupa “dehem” kepada pembantunya yang berjaga diluar ruangan.
Beberapa murid lainnya juga kerap diminta untuk menyempurnakan tembang- tembang ciptaanya seperti R.H. Abdul Palil (ayah Rd. Etje Madjid), Rd. Askaen dan Rd. Jaya Uhi. Juga beberapa seniman dari kalangan rakyat biasa yang kerap membantunya yakni Maing Buleng seorang ronggeng merangkap sinden dan Aen seorang juru pantun.
Selain Mamaos atau tembang Cianjuran, Dalem Pancaniti selalu memelihara diri dengan memperbaiki teknik membaca Al Qur an atau Maos dengan para ulama. Ia yang selalu menghafal ayat ayat Al Qur an akan membacakan lantunan ayat ayat suci Al Qur an dihadapan ulama agar mengkoreksinya apabila terdapat kesalahan. Kebijakan ini juga ia terapkan kepada segenap bawahannya agar fasih dalam membaca Al Quran.
Selain Mamaos atau tembang Cianjuran, Dalem Pancaniti selalu memelihara diri dengan memperbaiki teknik membaca Al Qur an atau Maos dengan para ulama. Ia yang selalu menghafal ayat ayat Al Qur an akan membacakan lantunan ayat ayat suci Al Qur an dihadapan ulama agar mengkoreksinya apabila terdapat kesalahan. Kebijakan ini juga ia terapkan kepada segenap bawahannya agar fasih dalam membaca Al Quran.
Sumber:
Cianjur dari Masa ke Masa ( Fakta Sejarah dan Cerita Rakyat ) | Yayasan Dalem Aria Cikondang Cianjur. 2020
Penyusun:
R. Luki Muharam, SST
Editor :
R. Pepet Djohar
Dr. Dadang Ahmad Fajar,
M.Ag Memet Muhammad Thohir