-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Maestro Kendang Jaipongan, H. Suwanda

Minggu, 13 April 2025 | 00.08 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-13T17:11:24Z


Di sebuah dusun kecil bernama Citopeng, Kabupaten Karawang, lahirlah seorang anak lelaki dari keluarga seniman topéng banjét yang kelak mengguncang panggung seni pertunjukan Indonesia dengan tepakan kendangnya. Anak itu bernama Suwanda, atau yang akrab disapa "Ujang Suwanda".

Lahir pada 3 Maret 1950, Suwanda tumbuh dalam lingkungan penuh nada dan irama. Ayahnya, Abah Reman, adalah seniman serbabisa yang mewariskan kepiawaian seni pada anak-anaknya. Namun, Suwanda berbeda. Ia tak hanya menirukan—ia menciptakan. Sejak kecil, tangannya akrab menabuh berbagai benda rumah tangga sebagai "kendang" imajiner. Saking cintanya pada seni, sekolah pun ditinggalkan, digantinya dengan perjalanan keliling desa, memikul gamelan bersama sang ayah.

Meski kehidupan seniman rakyat tak selalu beralas karpet merah, Suwanda menjalaninya dengan penuh kesabaran. Ia belajar keras, bahkan hingga tahap spiritual seperti matigeni—bertapa dalam gelap selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan minum. Semuanya ia jalani demi kesempurnaan ilmu kendang yang diwariskan turun-temurun.

Namun Ujang tak berhenti pada warisan. Ia haus akan pengetahuan baru. Ia keluar dari lingkaran grup seni keluarganya, lalu berkeliling dari satu grup topéng banjét ke grup lainnya, menyadap ilmu, mencuri tepak-tepak kendang dari berbagai maestro lokal. Di sinilah intuisi dan improvisasinya diasah. Di tangan Suwanda, kendang bukan hanya alat musik, tapi menjadi bahasa tubuh, irama jiwa.
Pertemuan Sejarah dengan Gugum Gumbira

Titik balik datang ketika Gugum Gumbira, seniman karawitan asal Bandung, melihat penampilan Suwanda. Saat itu, Gugum tengah mencari pengendang yang bisa menjembatani visinya untuk tari Jaipongan—genre baru yang hendak ia ciptakan. Suwanda menjadi jawaban.

Mereka bersinergi dalam proyek rekaman Oray Welang tahun 1976. Saat itu, karya tersebut masih disebut sebagai "Ketuk Tilu Perkembangan". Namun sambutannya luar biasa: 50.000 kopi kaset terjual hanya dalam sebulan pertama. Itulah kelahiran tepak kendang jaipongan versi Suwanda.

Tepak kendang ciptaannya mengubah lanskap karawitan Sunda. Dalam tubuhnya mengalir DNA tradisi, tapi dalam pikirannya bersemayam semangat pembaruan. Lagu-lagu seperti Daun Pulus Késér Bojong, Serat Salira, Iring-Iring Daun Puring, hingga Toka-Toka jadi tonggak emas dalam sejarah jaipongan. Bukan hanya di studio, tetapi juga di panggung dunia, seperti saat ia tampil di Jerman Barat dalam misi budaya tahun 1984 bersama Jugala Grup.
 
Kreator dan Guru Kehidupan

Tak hanya mencipta, Suwanda juga membina. Bersama sang istri Hj. Mimin, ia mendirikan “Suwanda Grup”, tempat lahirnya generasi baru pengendang jaipongan. Suwanda tak pernah lelah mengajarkan seni yang diyakininya suci. Ia menolak gelar “maestro”, menolak julukan “Si Tangan Gledek” yang diberikan produser kaset. Ia hanya ingin dikenang sebagai pengendang biasa yang mencintai seni sepenuh hati.

Prinsip hidupnya sederhana tapi dalam:
"Sarénghap, sarasa, sapangadegan. Sajiwa, saraga, sarasa."
(Satu napas, satu rasa, satu tubuh. Satu jiwa, satu raga, satu perasaan.)
Warisan Irama yang Tak Tergantikan

Kini, puluhan tahun sejak Oray Welang berkumandang, ratusan pengendang jaipongan lahir di berbagai penjuru negeri. Namun jejak Suwanda tetap terasa. Pola tepak kendangnya menjadi kitab suci yang diamalkan banyak seniman. Ia tidak sekadar berperan dalam sejarah jaipongan—ia adalah sejarah itu sendiri.

Haji Suwanda wafat pada hari Senin, 18 Desember 2017, dalam usia 67 tahun di tanah kelahirannya, Karawang, Jawa Barat. Namun irama kendang yang ia tabuh tak pernah benar-benar berhenti. Ia hidup dalam setiap gebukan, dalam setiap langkah penari, dalam semangat setiap seniman muda yang menggenggam kendang dengan mimpi dan cinta.

Suwanda telah menabuh bukan hanya kendang, tapi juga denyut kebudayaan. Ia mengajarkan bahwa keagungan tak harus lahir dari panggung mewah, tapi bisa tumbuh dari jalanan desa, dari rumah bambu, dari niat yang lurus dan jiwa yang suci.
×
Berita Terbaru Update