-->

Notification

×

Iklan

Iklan

“Ngaku Dulur”: Realita Sosial di Balik Sukses dan Uang

Minggu, 13 April 2025 | 00.05 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-12T17:05:31Z


Saat dompet menipis, hanya segelintir yang datang. Tapi saat dompet tebal, ‘keluarga’ bisa datang dari mana saja. Fenomena ini bukan baru, tapi selalu relevan.

Lobakeun duit lain dulur, lamun geus loba duit mah kabeh ge bakal ngaku dulur.”
Pepatah Sunda ini terdengar seperti guyonan, tapi di baliknya tersembunyi cerminan nyata kehidupan sosial kita hari ini.

Wargi, coba ingat-ingat...

Pernah nggak sih, waktu kita lagi dalam masa-masa sulit—baik itu soal keuangan, karier, atau bahkan kesehatan—yang benar-benar hadir dan peduli hanya segelintir orang?
Tapi giliran hidup mulai membaik, pekerjaan mapan, usaha lancar, atau tiba-tiba viral di media sosial, mereka yang dulu diam atau bahkan menjauh, kini datang dan berkata:
“Eh, inget aku nggak? Kita kan dulu akrab banget…”

Fenomena ini bukan hal baru, tapi selalu menarik untuk dibahas. Ia mencerminkan kondisi sosial yang secara perlahan bergeser, dari nilai-nilai kebersamaan dan ketulusan, menjadi relasi transaksional yang didasarkan pada “siapa yang punya apa”.
 
Sukses: Magnet Baru untuk ‘Dulur Dadakan’

Dalam banyak kasus, kesuksesan memang bisa menjadi magnet—bukan hanya untuk peluang, tapi juga untuk orang-orang yang sebelumnya tak pernah hadir.
Istilah "dulur dadakan" atau saudara mendadak pun muncul sebagai bentuk sindiran terhadap mereka yang hanya muncul saat kita ada.

Sosiolog dari Universitas Padjadjaran, misalnya, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari budaya sosial yang semakin pragmatis. "Status dan uang menjadi simbol kekuatan baru, yang mempengaruhi siapa yang dianggap pantas untuk didekati," katanya.

Tapi apakah ini salah sepenuhnya? Tidak juga. Manusia secara alami memang tertarik pada keberhasilan. Namun, ketika hubungan dibangun atas dasar manfaat semata, di situlah masalah mulai muncul.
 
Refleksi untuk Wargi: Siapa yang Layak Disebut Saudara?

Wargi sadayana, hidup kadang memang seperti panggung sandiwara. Ada yang datang hanya ketika lampu terang menyala, tapi pergi diam-diam ketika panggung mulai gelap.

Di sinilah pentingnya menyadari siapa orang-orang yang benar-benar tulus hadir dalam hidup kita.
Mereka yang menemani sejak awal, yang mendukung tanpa pamrih, yang tak malu membantu saat kita jatuh—merekalah yang pantas kita sebut “saudara” dalam arti sesungguhnya.
 
Tetap Rendah Hati, Tetap Fokus

Fenomena ‘ngaku dulur’ seharusnya tidak membuat kita sinis atau membenci. Cukup dijadikan pelajaran, bahwa dalam hidup kita perlu lebih bijak memilih siapa yang layak diberi ruang di lingkaran terdekat.

Jangan terlalu sibuk mengejar validasi orang lain. Jangan pula larut dalam euforia pengakuan semu. Sukses yang sejati adalah ketika kita tetap bisa bersyukur, rendah hati, dan membagikan kebaikan kepada mereka yang benar-benar ada—bukan hanya yang datang saat kita “ada”.

Pepatah tadi mungkin terdengar sederhana, tapi maknanya dalam:
“Perbanyak uang, bukan saudara. Karena saat uangmu banyak, semua orang juga akan mengaku sebagai saudara.”
Bijaklah menyaring, bukan hanya dalam memilih makanan sehat… tapi juga dalam memilih orang-orang yang sehat untuk jiwa.
×
Berita Terbaru Update